Berkesenian di Tengah Pandemi, Berkompromi Dengan Media Berbeda
PANDEMI covid-19 telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan, termasuk kesinambungan karya di bidang seni. Mulai dari seni pertunjukkan hingga seni visual. Kondisi ini membuat para seniman harus menyesuaikan diri terhadap perubahan perilaku dengan menerapkan protokol kesehatan.
Dari data yang diperoleh dari Kemendikbud per April 2020, ada 40.081 seniman terdampak pandemi lantaran pembatalan sepihak agenda pertunjukkan. Dari data yang dihimpun Koalisi Seni mengungkap pula ada 234 acara ditunda mulai dari festival film, konser, pameran seni rupa, pertunjukan tari, teater hingga sastra.
Angka itu tentu terus bertambah seiring belum pastinya waktu berakhir pandemi virus yang asal usulnya simpang siur ini. Kerugian? jangan ditanya. Pada tahun 2019 lalu saja share sektor ekonomi kreatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ada di kisaran 7 persen.
Belum terhitung efek berganda-nya bagi sub sektor lain. Kini situasi bisa dibilang berbalik 180 derajat. Apakah seni akan mati tanpa tatap muka? bisa saja karena bagi sebagian seniman pertunjukkan tentu audiens adalah bagian penting yang tak terpisahkan dari pertunjukkan mereka.
Bagi musisi misalnya, sebagian dari mereka sangat mengagungkan respon instan dari penonton, teriakan, kekaguman, sing-along, bahkan caci maki merupakan energi utama bagi sang penghibur di atas panggung.
Bisa dibayangkan alangkah ‘garingnya’ konser musik rock tanpa ledakan emosi dari ppenontonnya bisa dibayangkan bagaimana lesunya unit band metal atau punk, tanpa adanya moshing dan headbang di tepi panggung? sungguh, seni pertunjukkan ada di titik nadir saat ini.
Sisa-sisa nafas insan seni di tengah pandemi ini coba disiasati dengan diadakannya pertunjukkan seni hingga pameran lewat media maya alias secara daring. Para seniman harus melakukan tindakan darurat memindahkan segala kreativitasnya di ruang-ruang pentas ke dalam ruang-ruang daring. Live show bermigrasi besar-besaran ke online show.
Memang sulit. Tapi mau tak mau harus dilakukan untuk menyelamatkan diri di tengah situasi yang tidak bisa kompromi. Tentu dengan segala konsekuensi penurunan kualitas, estetika, mood sampai sensasi berkarya langsung di depan mata.
Secara kasar, penikmat seni bisa menikmati karya seni tanpa harus berada di lokasi pertunjukkan atau pameran gawai, televisi jadi pemisah seniman dengan penikmatnya.
Zoom, youtube bahkan instagram jadi ‘panggung’ baru bagi seniman dan kuota internet jadi ‘tiket’ baru bagi para penonton dan penikmat seni.
Ini bisa jadi sebuah pertentangan karena menyaksikan pertunjukkan secara langsung tentu punya esensi dan sensasi yang berbeda jika dibandingkan menikmati katakanlah misalnya, film.
Contohnya Pameran Manifesto yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia (GNI) untuk tahun ini diselenggarakan secara daring.
Para penikmat seni bisa menyaksikan karya-karya senirupa pesertapameran melalui situs galnasonline.id. “Sebenarnya format daring ini tidak begitu cocok untuk dengan kegiatan seni rupa, karena kegiatan jitu mempertemukan buka membatasi, namun karena pandemi dan kebijakan PSBB terpaksa dilakukan secara daring,” tukas Risky A. Zaelani, salah satu kurator Manifesto VII yang bertajuk ‘Pandemi’.
Di sisi lain, Dosen Universitas Negeri Gorontalo I Wayan Seriyoga yang juga bertindak selaku kurator selain mengamini keterpaksaan pameran dilaksanakan secara daring juga menyebut kelebihan pameran secara daring adalah penyajian data karya seni yang bisa disajikan detail dan lengkap.
“Data seperti ini tidak akan ditemui dalam pameran offline,” jelasnya seperti dikutip beberapa sumber. Contoh lain yang bisa dikedepankan adalah Pementasan Sendratari Ramayana Prambanan yang digelar Taman Wisata Candi (TWC) yang sukses menyedot puluhan ribu penonton.
Sebanyak 35 ribu penonton terpantau mengakses akun youtube borobudurpark yang menayangkan langsung pementasan berdurasi 60 menit tersebut pada 8 September lalu. “Walau tidak ada sentuhan (mengikuti protokol kesehatan, red)namun chemistry-nya tetap harus terbangun lewat gestur,” terang Tutu Wisti Sabila, pemeran Shinta dalam pementasan tersebut.
Bali yang dikenal sebagai ‘gudangnya’ seni pun harus melangkah ke situasi yang sama lewat ajang Festival seni bertajuk Festival Seni Bali Jani (FSBJ) II yang dihelat 31 Oktober-7 November mendatang. “Festival kali ini seluruh rangkaiannya dilaksanakan melalui media virtual dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan.
Bertemakan Candika Jiwa ; Puitika Atma Kerthi, FSBJ formatnya diharapkan menjangkau seluas-luasnya kemungkinan kreatif atas pengolahan virtual sebagai konsep,” jelas kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan ” Kun” Adnyana belum lama ini.
Secara virtual, semua pertunjukkan akan ditayangkan di kanal youtube Disbud Prov Bali dengan melibatkan 1000 seniman dan 45 sanggar/komunitas seni di Bali.
Menarik ditunggu apakah Bali yang digadang sebagai sentranya seni budaya di Indonesia mampu menghadirkan pertunjukkan dalam lingkup besar sebuah festival seni yang paling tidak mendekati kemeriahan dan esensi festival seni konvensional.
Tak kalah menarik pandangan kurator Jean Couteau yang menyebut pandemi memberikan pembelajaran bahwa perubahan itu bisa datang dengan sangat dahsyat.
“Para seniman khususnya perupa muda harus mampu selalu menyesuaikan diri dengan perubahan agar bisa bertahan dalam 20 hingga 30 tahun mendatang. Sekarang adalah ajang pembuktian, apakah mereka masih memakai media biasa atau memakai media baru? harapan kami mereka bisa mengambil kesempatan dengan pembaharuan,” kata kurator senior ini.
Harapan yang tidak salah bagi para seniman muda, karena kita tidak pernah tahu perubahan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, apakah pandemi ini berakhir atau ada ‘ pandemi-pandemi’ lain atau peristiwa luar biasa yang berpotensi makin membatasi ruang gerak seniman. (Noerman)