DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Di tengah kaya akan tradisi dan budaya, masyarakat Bali mengenal dua hari suci yang sarat makna: Buda Kliwon Gumbreg dan Kajeng Kliwon. Keduanya bukan sekadar perayaan rutin, tetapi juga cerminan keseimbangan spiritual yang diyakini membawa harmoni bagi kehidupan. Apa sebenarnya makna di balik hari-hari ini, dan bagaimana pelaksanaannya? Mari kita telusuri lebih dalam dengan gaya yang santai namun informatif.
Kajeng Kliwon: Hari Keramat yang Datang Setiap 15 Hari
Kajeng Kliwon hadir secara berkala, tepatnya setiap 15 hari sekali, berdasarkan pertemuan antara Tri Wara (Kajeng) dan Pancawara (Kliwon). Hari ini dianggap istimewa dan keramat oleh masyarakat Bali. Dalam buku Pokok-pokok Wariga karya I. B. Suparta Ardhana, Kajeng Kliwon bahkan disebut memiliki dua sisi: Uwudan dan Enyitan. Kajeng Kliwon Uwudan, yang jatuh setelah Purnama, diyakini sebagai waktu ideal untuk mengaktifkan ilmu hitam atau pengiwa. Sementara itu, Kajeng Kliwon Enyitan, yang dirayakan setelah Tilem, lebih sering dimanfaatkan untuk membuat jimat atau sasikepan berkekuatan gaib.
[irp]
Ritual pada hari ini tak jauh berbeda dari Kliwon biasa, namun ada tambahan khusus. Selain persembahan seperti canang wangi-wangi, burat wangi, dan canang yasa yang ditujukan kepada Bhatari Durga Dewi, umat juga menyediakan segehan lima warna sebanyak lima tanding. Persembahan ini diletakkan di berbagai titik, seperti samping pintu (kori) dan halaman rumah, untuk memohon perlindungan dari kekuatan negatif seperti Sang Kala Bhucari, Durga Bhucari, dan Bhuta Bhucari. Tujuannya? Agar rumah tangga tetap aman, damai, dan jauh dari gangguan spiritual.
Buda Kliwon Gumbreg: Pesucian Tri Mandala Setiap Enam Bulan
Berbeda dengan Kajeng Kliwon, Buda Kliwon Gumbreg dirayakan lebih jarang, yakni setiap enam bulan sekali. Hari ini merupakan perpaduan unik antara Saptawara (Buda atau Rabu), Pancawara (Kliwon), dan Wuku Gumbreg. Dalam tradisi Bali, Buda Kliwon dikenal sebagai momen pesucian Sang Hyang Ayu, yang juga disebut sebagai pemujaan kepada Hyang Nirmala Jati.
[irp]
Pelaksanaannya melibatkan persembahan sederhana namun penuh makna, seperti canang yasa, wangi-wangi, dan kembang payas, yang ditempatkan di atas tempat tidur serta sanggah keluarga. Menurut lontar Sundarigama, ritual ini bertujuan mencapai tiga keselamatan dalam konsep Tri Mandala:
- Keselamatan diri sendiri sebagai prioritas utama.
- Keselamatan keluarga dan sanak saudara.
- Keselamatan negara atau lingkungan yang lebih luas.
Buda Kliwon Gumbreg bukan hanya soal ritual, tetapi juga pengingat untuk menjaga harmoni dalam kehidupan pribadi hingga sosial.
Makna Spiritual dan Ritual Persembahan
Baik Kajeng Kliwon maupun Buda Kliwon Gumbreg memiliki benang merah yang sama: menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan gaib. Dalam lontar Sundarigama, Kliwon disebut sebagai hari payogan Bhatara Siwa, waktu yang tepat untuk menyucikan diri dan lingkungan. Persembahan seperti segehan kepel (nasi dengan dua kepalan) dan tiga tanding diletakkan di halaman rumah, sanggah, serta pintu keluar-masuk, masing-masing ditujukan kepada Sang Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, dan Durga Bhucari.
[irp]
Jika persembahan ini diabaikan, konon kekuatan gaib seperti Sang Kala Tiga Bhucari bisa meminta izin kepada Bhatari Durga untuk mengganggu penghuni rumah. Gangguan ini bisa berupa penyakit, malapetaka, hingga pengaruh ilmu hitam. Oleh karena itu, ritual ini bukan sekadar tradisi, tetapi juga bentuk perlindungan spiritual.
Mengapa Hari Ini Penting?
Bagi masyarakat Bali, Kajeng Kliwon dan Buda Kliwon Gumbreg adalah wujud penghormatan terhadap leluhur dan kekuatan alam. Setiap persembahan, dari canang hingga segehan lima warna, mengandung doa untuk keselamatan, kedamaian, dan keharmonisan. Tradisi ini juga menjadi pengingat bahwa hidup tak hanya soal dunia fisik, tetapi juga keseimbangan dengan dunia spiritual yang tak kasat mata.
[irp]
Jadi, jika Anda berkesempatan berada di Bali saat hari-hari suci ini berlangsung, cobalah amati bagaimana masyarakat setempat menjalankan ritual dengan penuh khidmat. Ada keindahan tersendiri dalam cara mereka menjaga warisan budaya sambil tetap relevan di zaman modern. Bagaimana menurut Anda, apakah tradisi seperti ini masih penting di era sekarang?
***