DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Kajeng Kliwon Enyitan bersamaan dengan rahinan Kuningan apa yang harus dilakukan? Bali, pulau yang kaya akan tradisi dan spiritualitas, memiliki berbagai hari suci yang sarat makna bagi umat Hindu. Dua di antaranya adalah Kajeng Kliwon Enyitan dan Hari Raya Kuningan, yang tidak hanya mencerminkan keseimbangan alam semesta, tetapi juga menjadi momen introspeksi dan penguatan dharma. Artikel ini akan mengupas makna kedua perayaan tersebut.
Kajeng Kliwon Enyitan: Harmoni Energi Alam dan Introspeksi Diri
Dalam kalender Hindu Bali, Kajeng Kliwon adalah hari suci yang dianggap keramat karena menyatukan dua energi besar alam semesta: Kajeng dan Kliwon. Kajeng melambangkan kekuatan Sang Hyang Durga Dewi, yang mewakili Ahamkara atau ego yang terkait dengan Bhuta, Kala, dan Durha. Sementara itu, Kliwon adalah manifestasi Sang Hyang Siwa, simbol dharma dan kebenaran. Perpaduan keduanya menciptakan Dharma Wisesa, sebuah kekuatan yang mengajarkan keseimbangan antara kebaikan dan tantangan hidup, seperti kesedihan, penderitaan, hingga kemandirian.
Ada tiga jenis Kajeng Kliwon yang dirayakan umat Hindu Bali setiap 15 hari sekali berdasarkan perhitungan Tri Wara:
-
Kajeng Kliwon Uwudan, diperingati setelah Purnama (bulan purnama).
-
Kajeng Kliwon Enyitan, dirayakan setelah Tilem (bulan mati).
-
Kajeng Kliwon Pemelastali, yang jatuh setiap enam bulan sekali (210 hari) pada hari Minggu di Wuku Watugunung, sering disebut Watu Gunung Runtuh.
Kajeng Kliwon Enyitan, yang menjadi fokus utama, memiliki makna mendalam. Hari ini dipercaya sebagai saat ketika para bhuta turun ke bumi untuk mengamati manusia yang menjalankan dharma. Bhuta, sebagai simbol energi negatif, hadir untuk menguji komitmen seseorang terhadap kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itu, hari ini menjadi momen refleksi untuk menjaga keseimbangan antara dunia sekala (nyata) dan niskala (gaib).
Mengapa Kajeng Kliwon Enyitan begitu istimewa? Selain karena kesakralannya, hari ini mengingatkan umat Hindu akan potensi gangguan energi negatif, baik dari dalam diri maupun lingkungan sekitar. Upacara yang dilakukan bertujuan menetralkan energi tersebut, menciptakan harmoni antara manusia, alam, dan alam semesta. Dengan kata lain, perayaan ini bukan hanya ritual, tetapi juga pengingat untuk hidup selaras dengan nilai-nilai spiritual.
Hari Raya Kuningan: Puncak Kemenangan Dharma dan Syukur
Sementara Kajeng Kliwon menekankan keseimbangan energi, Hari Raya Kuningan membawa pesan tentang kemenangan dharma atas adharma. Hari suci ini dirayakan 10 hari setelah Galungan, tepatnya pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Nama Kuningan berasal dari kata kauningan, yang berarti peningkatan spiritual melalui introspeksi untuk terhindar dari mara bahaya.
Menurut Bhagawan Dwija, Kuningan adalah momen untuk memperbarui janji kepada diri sendiri dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk selalu memenangkan kebaikan (dharma) dan mengalahkan keburukan (adharma), termasuk bhuta dungulan, bhuta galungan, dan bhuta amangkurat. Upacara Kuningan juga menjadi ajang untuk mempererat solidaritas sosial dan menjaga harmoni dengan alam.
Simbolisme dalam Sesajen Kuningan
Sesajen atau banten pada Hari Raya Kuningan bervariasi di setiap desa, tetapi umumnya mengandung elemen simbolis seperti:
-
Tamiang: Melambangkan perlindungan dan siklus kehidupan.
-
Endongan: Mewakili perbekalan, khususnya ilmu pengetahuan dan bhakti, sebagai senjata utama menjalani hidup.
-
Ter: Berbentuk seperti panah, melambangkan ketajaman dan kekuatan.
-
Sampian Gantung: Simbol penolak bala atau gangguan negatif.
Selain itu, nasi kuning menjadi hidangan wajib yang melambangkan kemakmuran dan rasa syukur atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sesajen ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih atas anugerah kehidupan.
Waktu Sembahyang yang Tepat
Bhagawan Dwija menjelaskan bahwa energi alam semesta (panca mahabhuta: pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) mencapai puncaknya dari pagi hingga tengah hari (bajeg surya). Oleh karena itu, waktu terbaik untuk sembahyang adalah antara pukul 00.00 hingga 12.00 siang, saat Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberkahi dunia. Setelah tengah hari, energi alam mulai menurun, memasuki fase pralina (pengembalian ke asal) hingga malam hari, yang disebut tamasika kala, waktu untuk beristirahat.
Menjaga Harmoni dan Makna Hidup
Baik Kajeng Kliwon Enyitan maupun Hari Raya Kuningan mengajarkan nilai-nilai universal: keseimbangan, introspeksi, dan rasa syukur. Kajeng Kliwon mengingatkan kita untuk menjaga harmoni dengan alam dan menetralkan energi negatif, sedangkan Kuningan mendorong kemenangan dharma dan penguatan ikatan sosial. Kedua perayaan ini bukan sekadar tradisi, tetapi cerminan kearifan lokal Bali yang relevan hingga kini.
Melalui upacara-upacara ini, umat Hindu Bali diajak untuk hidup selaras dengan alam, menghargai karunia Tuhan, dan terus memperbaiki diri. Bagi Anda yang ingin memahami lebih dalam tentang tradisi Hindu Bali, perayaan ini adalah pintu masuk yang kaya akan makna dan inspirasi. Semoga artikel ini menambah wawasan Anda tentang kekayaan spiritual Pulau Dewata! ***