Denpasar, Balikonten.com – Sengketa hukum antara PHDI dengan PHDI versi Mahasabha Luas Biasa (MLB) hingga saat ini belum tuntas.
Proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta masih berjalan, dan belum memutuskan pihak mana yang menang sengketa.
Sengketa itu turut menimbulkan keprihatinan dari Badan Hukum dan HAM Partai Golkar Provinsi Bali.
Terlebih ada desakan dari Ketua Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, yang mengusulkan kepada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali agar membekukan PHDI untuk sementara waktu.
Ketua Bakumham Golkar Provinsi Bali, I Gusti Ayu Dewa Sri Wigunawati menilai, di tengah sengketa hukum, PHDI tetap menjalankan fungsi-fungsi pengayoman kepada umat.
“Karena tugas PHDI itu bagi umat sangat banyak seperti misalnya urusan sudhi widani, diksa pariksa. Kalau kondisi ini terjadi, seperti dibekukan, dia (umat) tidak diberikan untuk suatu pelayanan, ini akan jadi seperti akan ayam kehilangan induk,” ujarnya
Hal itu dibahas dalam rapat internal bersama para advokat Bakumham Golkar Provinsi Bali dan awak media, pada Sabtu (5/2/2022) di Kantor DPD Golkar Provinsi Bali.
Hal ini menurutnya penting, agar umat tidak kehilangan arah terkait pengayoman dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan.
“Kemana mereka harus upasaksi, sertifikat beda agama, kemudian perkawinan orang luar dengan Hindu. Itu harus dikeluarkan PHDI. Juga termasuk upacara diksa pariksa,” ujarnya.
Dia menegaskan, pihaknya tidak menyentuh persoalan hukum dari sengketa ini. Tidak dalam kepentingan mendukung salah satu pihak yang bersengketa. Namun menjaga agar umat tidak ikut dirugikan akibat sengketa hukum ini.
“Jangan sampai, sekali lagi, ini umat ditelantarkan dengan kondisi ini. Kalau kita bilang bahasa dalam tanda kutipnya. Bolehlah di jakarta itu orang pada minum. Tapi di Bali jangan pada mabuk. Jangan begitu,” tuturnya.
Dia berharap, jangan sampai desakan dari Ketua MDA Provinsi Bali untuk membekukan PHDI itu jangan sampai mengandung konotasi keberpihakan kepada salah satu pihak, kemudian harus mengabaikan fungsi dan pengayoman umat.
“Ketika kita sudah menyatakan seperti ini, akan terkesan keberpihakan terhadap salah satu,” imbuhnya.
Sebagai sosok tetua adat, Sri Wigunawati menilai Ketua MDA sosok yang memiliki kearifan yang cukup luar biasa karena sudah terpilih menjadi tetua adat di Provinsi Bali.
“Jadi cukup sangat bijaksana kalau kita berada pada posisi yang tidak memicu reaksi yang terjadi,” celetuknya. Menurutnya MDA, PHDI, termasuk FKUB memiliki ranah yang tidak jauh beda.
“Kalau memungkinkan kita mencoba untuk merangkul semua. Kemudian tidak ada reaksi pernyataan yang menimbulkan kebigunagn di umat. Karena sekali lagi, kalau dikaji dari sudut pandang hukum ini tidak mesti ada yang dibekukan. Tidak harus ada yang dilibatkan, sampai ada keputusan pengadilan yang tetap,” bebernya.
Pada saat Pengadilan telah memutuskan siapa yang diakui secara legalitas, dia mengajak pihak satunya harus legowo, harus kembali bersatu di satu kesatuan menjadi PHDI yang satu untuk pembinaan umat. (red)