DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat simpanan tidak layak bayar (STLB) nasabah dari bank yang dilikuidasi di Provinsi Bali mencapai Rp230,44 miliar. Angka ini setara dengan 45,39% dari total dana nasabah sebesar Rp508 miliar di bank-bank yang telah ditutup. Sementara itu, simpanan layak bayar yang telah dibayarkan LPS mencapai Rp277,21 miliar atau 54,61% dari total dana tersebut.
Kepala Kantor Perwakilan LPS II, Bambang S. Hidayat, menjelaskan bahwa hingga kini LPS telah mencairkan Rp229,78 miliar dari total simpanan layak bayar. Angka ini telah memperhitungkan batas maksimum penjaminan LPS sebesar Rp2 miliar per nasabah, termasuk pengurangan (set-off) terhadap pinjaman nasabah serta hasil penanganan keberatan yang diterima LPS.
Faktor Penyebab Simpanan Tidak Layak Bayar
Menurut Bambang, mayoritas simpanan tidak layak bayar, yakni 63,66%, disebabkan oleh tingkat suku bunga yang melebihi ketentuan LPS. Beberapa bank, terutama Bank Perkreditan Rakyat (BPR), menawarkan bunga deposito yang jauh lebih tinggi dari batas penjaminan LPS, sehingga simpanan tersebut tidak memenuhi syarat untuk diganti.
Faktor lain adalah keterlibatan nasabah dalam praktik yang merugikan kesehatan bank, seperti fraud atau kredit fiktif, yang menyumbang 36,16% dari total STLB. Selain itu, ada pula kasus simpanan yang tidak tercatat dalam pembukuan bank, meskipun porsinya sangat kecil, hanya 0,18%.
Pentingnya Memahami Aturan Penjaminan
LPS mengimbau nasabah untuk lebih cermat memahami aturan bunga penjaminan sebelum menempatkan dana di bank. Selain itu, bank diminta tidak menawarkan bunga simpanan yang melebihi ketentuan LPS. “Nasabah harus jeli melihat kinerja bank, termasuk tata kelola dan kesehatan keuangannya,” ujar Bambang dalam wawancara dengan media di Denpasar, Selasa (27/5/2025).
Tantangan Tata Kelola dan Teknologi BPR
Bambang menyoroti bahwa isu utama di balik pencabutan izin BPR adalah lemahnya tata kelola. “Banyak BPR merasa mereka kecil dan hanya menangani segmen mikro, padahal mereka harus dikelola seperti institusi keuangan pada umumnya,” tegasnya. Untuk mengatasi hal ini, LPS telah mendorong pelatihan (training) bagi BPR guna memperkuat tata kelola.
Selain itu, LPS juga fokus pada peningkatan teknologi di BPR. Banyak BPR masih menggunakan sistem pencatatan manual atau kurang rapi, sehingga perlu didorong untuk mengadopsi teknologi informasi terkini. “Pencatatan yang rapi dan penggunaan teknologi mutakhir sangat penting untuk menjaga kepercayaan nasabah dan kesehatan bank,” tambah Bambang.
Rekam Jejak Likuidasi Bank di Bali
Sejak beroperasi pada 2005 hingga 25 April 2025, LPS telah melikuidasi 143 bank di seluruh Indonesia, termasuk 1 bank umum, 127 BPR, dan 15 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Di Bali sendiri, sebanyak 10 BPR telah dilikuidasi, menjadikan provinsi ini sebagai yang terbanyak kelima secara nasional. Dari total bank yang dilikuidasi, 123 bank telah selesai proses likuidasinya, terdiri dari 1 bank umum, 111 BPR, dan 11 BPRS. Saat ini, masih ada 20 bank dalam proses likuidasi.
Pesan untuk Nasabah
Bambang menegaskan pentingnya nasabah memilih bank dengan reputasi baik dan mematuhi aturan penjaminan LPS. Dengan langkah penguatan tata kelola dan teknologi, LPS berharap kepercayaan masyarakat terhadap BPR tetap terjaga, sekaligus mendorong perbankan untuk lebih profesional dalam menjalankan operasionalnya.
Dengan langkah-langkah ini, LPS tidak hanya berupaya melindungi dana nasabah, tetapi juga memastikan industri perbankan, khususnya BPR, dapat beroperasi dengan lebih sehat dan transparan. Bagi masyarakat Bali, kewaspadaan dalam memilih bank dan memahami aturan penjaminan menjadi kunci untuk menjaga keamanan simpanan mereka.
***