Mengenal Soma Ribek: Makna, Pemujaan, dan Pantangan

umat Hindu tengah melaksanakan persembahyangan/ Balikonten/ Diz_Daily
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Soma Ribek, sebuah tradisi sakral dalam budaya Bali, merupakan momen istimewa untuk memuja Sang Hyang Sri Amerta dan Dewi Sri, dewi kemakmuran yang dihormati sebagai pemberi karunia padi dan hasil bumi.
Hari suci ini, yang jatuh pada Wuku Sinta, Saptawara Soma, dan Pancawara Pon, tidak hanya menjadi waktu untuk bersyukur atas kelimpahan rezeki, tetapi juga untuk menghormati Sang Hyang Tri Murti Mrtha yang beryoga di lumbung, tempat penyimpanan beras dan padi.
Berikut adalah ulasan mendalam tentang makna Soma Ribek, ritual yang dilakukan, serta pantangan yang wajib diperhatikan.
Makna dan Pemujaan Soma Ribek
Menurut Lontar Sundarigama, Soma Ribek adalah hari pujawali untuk Sang Hyang Sri Amerta, yang bersemayam di lumbung sebagai simbol kemakmuran. Dalam tradisi ini, umat Hindu Bali mempersembahkan rasa syukur kepada Dewi Sri atas limpahan hasil panen. Selain itu, Soma Ribek juga menjadi momen untuk memuja Sang Hyang Tri Murti Mrtha, yang melambangkan kekuatan ilahi dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan.
Upacara yang dilakukan pada hari ini dikenal sebagai Widhi Widana. Lontar Sundarigama menyebutkan, “Wuku Sinta, Soma Pon, ngaran Soma Ribek, mangereti ring Sang Hyang Tri Murti ungguan ring lumbung, paryangan, widi-widane, nyanyah geringsing.” Dalam bahasa sederhana, ini berarti Soma Ribek adalah hari suci untuk memuja Sang Hyang Sri Amerta di lumbung, tempat padi disimpan, dengan menyelenggarakan upacara Widhi Widana dan persembahan nyanyah geringsing.
Ritual dan Persembahan
Dalam tradisi yang tercatat di buku Parisada Hindu Dharma Kabupaten Tabanan (1976), upacara Soma Ribek dilakukan dengan persembahan banten nyahnyah geti-geti, raka pisang mas yang dihiasi bunga harum, serta dupa sebagai simbol pengabdian. Persembahan ini bukan sekadar ritual, melainkan wujud penghormatan kepada dewi padi yang telah memberikan kelimpahan. Lumbung, sebagai pusat pemujaan, menjadi simbol penting dalam menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Pantangan yang Harus Dijaga
Soma Ribek bukan hanya tentang pemujaan, tetapi juga tentang menjaga kesucian hari tersebut dengan mematuhi sejumlah pantangan. Salah satu larangan utama adalah menumbuk padi atau menjual beras. Dalam lontar disebutkan, “Ikang wang tan wenang anumbuk pari, angadol beras, katemah dening Bhatara Sri.” Artinya, melanggar pantangan ini diyakini dapat mendatangkan kutukan dari Bhatara Sri, yang melindungi hasil bumi.
Selain itu, umat juga dilarang tidur siang pada hari ini karena Sang Hyang Pramesti Guru sedang beryoga. Tidur siang dianggap dapat mengganggu kesakralan momen tersebut. Sebaliknya, umat dianjurkan untuk tetap terjaga, merenung, dan memuja Sang Hyang Tri Pramana sebagai bentuk penghormatan. Dengan mematuhi pantangan ini, umat menunjukkan ketaatan dan rasa hormat kepada kekuatan ilahi yang menjaga kesejahteraan.
Doa dan Penghormatan
Pada Soma Ribek, umat juga dianjurkan untuk mengucapkan puji-pujian kepada Sang Hyang Tri Pramana. Doa ini menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada kebijaksanaan dan esensi spiritual (sari tatwa adnyana). Tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, serta menghormati siklus alam yang telah memberikan kehidupan.
Mengapa Soma Ribek Penting?
Soma Ribek bukan sekadar hari suci, tetapi juga pengingat akan hubungan erat antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Dengan memuja Dewi Sri dan Sang Hyang Tri Murti Mrtha, umat Hindu Bali diajak untuk menghargai hasil bumi, menjaga kesucian lumbung, dan hidup dalam harmoni. Ritual dan pantangan yang menyertai hari ini mengajarkan disiplin, rasa syukur, dan penghormatan terhadap karunia alam.
Bagi masyarakat Bali, Soma Ribek adalah cerminan nilai budaya yang kaya dan relevan hingga kini. Tradisi ini tidak hanya memperkuat ikatan spiritual, tetapi juga mengingatkan pentingnya menjaga warisan leluhur dalam kehidupan modern. Dengan memahami dan mempraktikkan Soma Ribek, kita turut melestarikan kearifan lokal yang sarat makna.
***
