Filosofi Ngaturang Banten saat Galungan

Penjor Galungan oleh Jorge Láscar/ Flicker/ Balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Ketika rahinan Galungan dan Kuningan tentu umat Hindu tentu lebih banyak menghaturkan banten atau canang dari pada biasanya. Ada banayak jenis dan yang pasti setiap wilayah di Bali juga memiliki aturan tersendiri terkait banten atau canang.
Hari Raya Galungan adalah salah satu perayaan suci umat Hindu di Bali yang dirayakan setiap 210 hari sekali berdasarkan kalender Pawukon.
Perayaan ini menjadi momen penting untuk memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan). Salah satu elemen utama dalam perayaan Galungan adalah ngaturang banten, yaitu mempersembahkan sesajen yang sarat dengan makna filosofis dan spiritual.
Makna Spiritual Ngaturang Banten
Ngaturang banten bukan sekadar ritual fisik, tetapi juga wujud pengabdian spiritual umat Hindu kepada Hyang Widhi Wasa, para Dewa, dan leluhur. Banten, yang terdiri dari bunga, makanan, air suci, dan dupa, adalah simbol penghormatan dan komunikasi spiritual. Dalam tradisi Hindu Bali, banten menjadi jembatan yang menghubungkan Bhuwana Alit (mikrokosmos dalam diri manusia) dengan Bhuwana Agung (makrokosmos atau alam semesta).
Filosofi ngaturang banten saat Galungan mencerminkan keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani. Setiap elemen dalam banten memiliki makna simbolik. Misalnya, bunga melambangkan keindahan dan ketulusan hati, makanan melambangkan kelimpahan dan rasa syukur, sedangkan asap dupa yang mengepul ke atas melambangkan doa menuju Sang Pencipta. Dengan mempersembahkan banten, umat Hindu mengekspresikan rasa syukur atas berkah yang telah diberikan serta memohon perlindungan dan kedamaian.
Banten sebagai Wujud Bhakti
Dalam tradisi Hindu Bali, ngaturang banten adalah bentuk bhakti yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Proses pembuatan banten melibatkan hati yang bersih dan pikiran yang jernih, sehingga energi positif dari pembuatnya tersalur ke dalam persembahan. Banten yang disusun dengan penuh perhatian mencerminkan kesungguhan dalam menjalankan ajaran Tri Hita Karana, yaitu menjaga harmoni antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan).
Pada Hari Raya Galungan, banten tidak hanya dipersembahkan di pura, tetapi juga di merajan (sanggah) keluarga, penunggun karang (tempat suci penjaga pekarangan), dan berbagai tempat suci lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa banten bukan hanya simbol ritual, tetapi juga wujud penghormatan terhadap leluhur yang diyakini kembali ke bumi saat Galungan untuk memberikan berkah.
Jenis-Jenis Banten saat Galungan
Beragam jenis banten digunakan selama Hari Raya Galungan, masing-masing dengan fungsi dan makna filosofis yang khas. Berikut adalah beberapa jenis banten yang umum dipersembahkan:
1. Banten Ajengan
Banten ajengan adalah persembahan yang berisi aneka makanan, seperti nasi, lawar, ayam panggang, urutan (sosis khas Bali), dan jajanan tradisional. Banten ini disusun rapi di atas dulang atau wadah khusus. Filosofinya adalah mengungkapkan rasa syukur atas kelimpahan pangan dan rezeki yang diberikan Tuhan.
2. Banten Sodan
Banten sodan memiliki bentuk yang lebih sederhana, biasanya terdiri dari canang sari, bunga, air suci, dan dupa. Meski sederhana, banten ini memiliki makna spiritual yang mendalam sebagai tanda penghormatan kepada leluhur atau Dewa tertentu. Banten sodan sering dipersembahkan di merajan keluarga atau pura, melambangkan komunikasi spiritual dengan leluhur yang hadir saat Galungan. Filosofinya adalah kesucian dan ketulusan dalam menjalin hubungan dengan yang Maha Kuasa.
3. Banten Penunggun Karang
Banten penunggun karang dipersembahkan di tempat suci penjaga pekarangan rumah. Persembahan ini biasanya terdiri dari canang dan sesajen kecil. Makna filosofisnya adalah memohon perlindungan dari roh penjaga pekarangan agar rumah tangga tetap harmonis dan terhindar dari gangguan.
4. Banten Danan
Banten danan digunakan dalam prosesi melukat (penyucian diri) menjelang atau selama Galungan. Banten ini terdiri dari air suci, bunga, dan elemen lain yang melambangkan pembersihan jiwa. Filosofinya adalah pentingnya menjaga kebersihan batin sebagai dasar dalam menjalankan upacara suci. Dengan banten danan, umat Hindu membersihkan diri dari pengaruh negatif agar dapat mempersembahkan banten lain dengan hati yang suci.
Banten sebagai Jembatan Spiritual
Filosofi ngaturang banten saat Hari Raya Galungan mencerminkan esensi dari ajaran Hindu Bali, yaitu menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Banten bukan hanya sekumpulan bunga, makanan, atau dupa, tetapi juga wujud doa, syukur, dan ketulusan hati. Melalui banten, umat Hindu mengungkapkan penghormatan kepada leluhur, memohon berkah dari Hyang Widhi, dan menjaga keseimbangan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap elemen dalam banten, mulai dari canang sari hingga sesajen di penunggun karang, memiliki makna mendalam yang mengajarkan pentingnya menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan kebaikan. Dengan ngaturang banten, umat Hindu di Bali tidak hanya merayakan kemenangan Dharma, tetapi juga memperkuat ikatan spiritual dengan leluhur dan alam semesta, serta menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh berkah.
***
