DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Di tengah kemeriahan Hari Raya Galungan dan Kuningan, terdapat satu momen sakral yang tak boleh dilewatkan oleh umat Hindu di Bali: Soma Pemacekan Agung. Perayaan ini, yang jatuh pada Soma Kliwon Wuku Kuningan, menjadi penutup rangkaian Galungan dan menyimpan makna spiritual yang mendalam. Bukan sekadar tradisi, Pemacekan Agung mencerminkan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan pengendalian diri menuju kebenaran sejati. Apa sebenarnya makna di balik hari suci ini, dan mengapa begitu dikeramatkan?
Pemacekan Agung: Penanda Kemenangan Dharma
Pemacekan Agung diperingati setiap 210 hari sekali, tepat lima hari setelah Hari Raya Galungan. Dalam tradisi Hindu Bali, hari ini menandai batas antara permulaan dan akhir Galungan, mencakup periode 30 hari sebelum dan sesudahnya, dari Tumpek Wariga hingga Buda Kliwon Pahang. Secara filosofis, Pemacekan Agung bukan hanya ritual, melainkan pengingat akan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan).
Menurut penuturan Putu Agus Panca Saputra, atau lebih dikenal sebagai Jro Panca, istilah “Pemacekan Agung” berasal dari kata pacek (menancapkan) dan agung (besar, mulia, atau teguh). Dalam konteks spiritual, ini merujuk pada penguatan komitmen umat Hindu untuk menjaga kesadaran diri dan martabat kemanusiaan. “Pemacekan Agung mengajarkan kita untuk tidak terlena oleh kemenangan, tetapi menjadikannya tonggak kebangkitan spiritual,” ujar Jro Panca, yang dikenal aktif berbagi wawasan spiritual melalui kanal YouTube Taksu Poleng.
Ritual dan Makna Spiritual
Pada sore hari Soma Pemacekan Agung, umat Hindu Bali menggelar upacara di pekarangan rumah atau lebuh (jalan masuk). Salah satu elemen kunci adalah persembahan Segehan Agung, yang dilengkapi dengan penyambleh ayam samalulung—ayam pitik yang baru menetas sebelum usia tujuh hari. Persembahan ini bertujuan untuk mengembalikan Sang Bhuta Galungan dan pengikutnya ke asal mereka, sekaligus memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Makna ritual ini tercermin dalam kutipan Lontar Sundarigama:“Soma Kliwon, Pemacekan Agung ngaran, masegeh agung ring dengen, mesambleh ayam samalulung, pakenania. Ngunduraken sarwa bhuta kabeh.”
Artinya, pada Senin Kliwon Wuku Kuningan, umat mempersembahkan Segehan Agung di depan pintu rumah untuk mengantar Bhuta Kala kembali ke tempat asalnya. Namun, Jro Panca menegaskan bahwa Pemacekan Agung bukan sekadar ritual pengusiran. “Ini tentang tapa, pengendalian diri untuk menuju Sang Hyang Dharma. Konotasinya bukan negatif, melainkan penguatan batin,” jelasnya.
Lontar Dharma Kahuripan juga menyebutkan:
“Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma.”
Kutipan ini menggarisbawahi bahwa Pemacekan Agung adalah proses pemusatan diri melalui tapa, menuju kebenaran ilahi.
Mengapa Soma Pemacekan Agung Dikeramatkan?
Soma Pemacekan Agung memiliki aura sakral yang kuat, terutama karena kaitannya dengan konsep kawisesan (kekuatan spiritual). Sehari sebelumnya, pada Redite Kuningan atau Pagpag Pemacekan Agung, sering menjadi momen di mana para leak pemoroan—praktisi spiritual tanpa landasan sastra—memamerkan kemampuan mereka. “Mereka yang disebut leak pemoroan biasanya mempraktikkan ilmu spiritual secara instan, seperti melalui ritual nguntal atau penggunaan benda tertentu,” ungkap Jro Panca.
Namun, di balik fenomena ini, Soma Pemacekan Agung mengajarkan umat untuk tidak terjebak pada godaan kekuatan semu. Hari ini menjadi pengingat untuk memperkuat batin menghadapi Sang Kala Tiga, simbol godaan dan nafsu duniawi, agar kembali ke sumbernya setelah “disomya” atau dijinakkan.
Tradisi yang Beragam, Makna yang Universal
Meski inti ritual Pemacekan Agung seragam, pelaksanaannya bisa berbeda di setiap daerah di Bali, sesuai dengan prinsip desa, kala, patra (tempat, waktu, dan keadaan). Beberapa komunitas mungkin menambahkan elemen tradisional tertentu, tetapi tujuannya tetap sama: mengukuhkan kemenangan spiritual dan menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Penutup: Pelajaran dari Pemacekan Agung
Soma Pemacekan Agung bukan sekadar penutup Hari Raya Galungan dan Kuningan, tetapi juga cerminan perjalanan spiritual umat Hindu Bali. Melalui ritual dan refleksi, hari ini mengajarkan pentingnya pengendalian diri, komitmen pada kebenaran, dan keseimbangan hidup. Seperti kata Jro Panca, “Pemacekan Agung adalah pengingat bahwa setiap kemenangan harus disertai kesadaran untuk tetap rendah hati dan menjaga martabat kemanusiaan.”
Dengan makna yang begitu kaya, Soma Pemacekan Agung terus hidup dalam hati umat Hindu Bali, menjadi pilar spiritual yang relevan di tengah perubahan zaman. Mari rayakan hari suci ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, demi harmoni batin dan dunia. **