DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Tumpek Wayang jatuh pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang setiap 210 hari sekali. Ada beberapa hal unik yang berlangsung ketika rahinan ini datang seperti beberapa larangan yang juga jarang diketahui.
Menurut Lontar Sundarigama terhitung sejak Minggu (Redite) Wage Wuku Wayang hingga Jumat (Sukra) Wuku Wayang adalah hari yang kurang baik untuk digunakan melaksanakan tradisi melukat atau pebersihan. Jika ini dijalankan atau dilanggar akan menghilangkan kualitas diri.
Kemudian dari lontar Kala Purana juga disebutkan bahwa Sang Hyang Kala ini lahir pada Kamis (Wraspati) Pon Wuku Wayang tepat pada Sandi Kala atau sore hari.
Sebab Sang Hyang Kala sangat tekun melaksanakan tapa atau bertapa, kemudian Sang Hyang Siwa memberikan anugerah kepadanya.
Anugerah yang diberikan Dewa Siwa kepada Sang Hyang Kala yakni Sang Hyang Kala boleh memakan orang yang bekerja tepat pada tengah hari atau Siang hari, sandi kala atau sore hari dan juga mereka yang lahir pada Wuku Wayang.
Makna Peruwatan pada Tumpek Wayang
Hari Tumpek Wayang juga dikenal sebagai waktu peruwatan bagi mereka yang lahir di wuku Wayang, khususnya pada hari Sabtu. Untuk penyucian ini, digelar pertunjukan wayang yang disebut Wayang Sapuh Leger.
Dalam bahasa Bali, kata sapuh berarti membersihkan atau meruwat, sementara leger berarti mala (kotoran) atau unsur negatif dalam diri manusia. Dengan demikian, Wayang Sapuh Leger memiliki makna spiritual sebagai media pembersihan secara niskala bagi seseorang yang membawa mala sejak lahir di wuku Wayang.
Wuku Wayang sendiri berlangsung selama tujuh hari, dimulai dari hari Minggu hingga Sabtu. Hari terakhir, yaitu Sabtu, dirayakan sebagai puncak perayaan Tumpek Wayang.
Ritual dan Sarana Keagamaan
Pada hari Tumpek Wayang, umat Hindu melaksanakan berbagai ritual keagamaan dengan menggunakan sarana seperti banten. Beberapa jenis banten yang umum dipakai antara lain Banten Pejati, Biakaon, Tebasan, Peras, Pengambean, dan Dapetan. Semua ritual ini biasanya ditutup dengan segehan, yaitu persembahan berupa caru yang mencakup pandan wong (pandan berduri) dan segehan manca warna (lima warna persembahan).
Sehari sebelum Tumpek Wayang, umat Hindu melaksanakan ritual Meseselat pada hari Jumat atau Sukra wuku Wayang. Dalam ritual ini, mereka memasang seselat berupa pandan berduri atau tumbuhan berduri lainnya di tempat-tempat suci seperti Sanggah, pelinggih di rumah, penunggun karang, sumur, dan pelangkiran.
Tujuannya adalah untuk melindungi keluarga dari kekuatan jahat. Keesokan paginya, pada hari Sabtu Wayang, semua seselat yang telah dipasang dikumpulkan dan diletakkan di lebuh rumah sebagai bagian dari prosesi penyucian.
Hari Tumpek Wayang memiliki makna mendalam bagi umat Hindu di Bali. Perayaan ini tidak hanya menjadi momen untuk menghaturkan puja kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tetapi juga sebagai sarana membersihkan diri secara spiritual dari unsur-unsur negatif. ***