Drama Gong Remaja Dipadati Penonton, Enggan Beranjak Hingga Akhir

 Drama Gong Remaja Dipadati Penonton, Enggan Beranjak Hingga Akhir

Drama Gong Remaja Dipadati Penonton, Enggan Beranjak Hingga Akhir.

DENPASAR, BALOKONTEN – Wimbakara (Lomba) Pesta Kesenian Bali () ke-45 menampilkan Sanggar Mudra, Banjar Sandakan, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Badung, bertempat di Kalangan Ayodya Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa (27/6) malam.

Ratusan penonton tidak beranjak dari tempat duduknya hingga pementasan selesai. Penampilan dimulai pukul 19.00 hingga berakhir pukul 22.00 Wita. Penonton terlihat antusias memadati Kalangan Ayodya malam itu. Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Bali Putri Suastini Koster menjadi salah satu penonton yang setia menonton adegan demi adegan sampai akhir.

Berbeda dari biasanya yang mengambil dari panji, drama gong Sanggar Seni Mudra kali ini mengadaptasi salah satu cerita sastra Bali modern ‘Katemu ring Tampak Siring’. Katemu ring Tampak Siring adalah sebuah kisah yang terjadi setelah zaman kemerdekaan Republik Indonesia di daerah Gianyar. Memang, panitia lomba juga menawarkan para peserta lomba mengambil cerita dari sastra Bali modern.

Cerpen yang terbit sekitar tahun 1978 ini mengisahkan pertemuan haru Ni Luh Kompyang dan anaknya yang keturunan tentara Belanda yakni Combosch alias Van Steffen.

Kisah bermula pertemuan Ni Luh Kompyang dan Van de Bosch, seorang tentara Belanda, di Desa Carangsari. Latarnya mengambil era sekitar 1940-an. Kisah keduanya berlanjut hingga jatuh cinta dan menikah. Namun, maut memisahkan mereka ketika Van de Bosch tewas pada peperangan di Lembang, Jawa Barat. Van de Bosch meninggalkan Ni Luh Kompiang, putranya yang masih belia yakni Combosch, dan putrinya yang masih dalam kandungan, Ni Luh Rai.

Combosch yang merupakan keturunan Belanda dibawa pulang oleh utusan kerajaan ke ayahnya. Combosch diasuh oleh yayasan yatim piatu di Rotterdam dan ketika dewasa, ia diberi nama Van Steffen. Takdir seakan membawanya kembali ke Indonesia saat Ratu Juliana berkunjung ke tanah air pada 1971 dan Van Steffen bertugas meliput peristiwa sejarah ini.

Singkat cerita Ratu Juliana berkunjung ke Tampaksiring. Di waktu senggang dalam kunjungan ini, Van Steffen keluar melihat lingkungan sekitar ditemani guide bernama Gladag dan Gledig. Diceritakan di sana, Van Steffen tertarik dengan sebuah art shop yang ternyata dijaga oleh Ni Luh Rai.

BACA JUGA:  Profil Singkat K.O.I Band yang Viral di TikTok

Tanpa mengetahui latar belakang satu sama lain, Ni Luh Rai dan Van Steffen sama-sama memiliki rasa dan jatuh cinta. Hubungan ini terus berlanjut hingga Ni Luh Kompiang curiga dengan tingkah laku putrinya dan pada akhirnya meminta agar Luh Rai tidak berhubungan dengan orang asing sebab risikonya tinggi.

Pada suatu ketika Ni Luh Kompyang sakit dan ditemani sang putri. Di saat itu pula Van Steffen datang usai mewartakan kunjungan Ratu Juliana ke Pura Besakih. Pada saat inilah Ni Luh Kompiang berusaha mengulik orang asing yang dekat dengan putrinya itu. Sampai fakta mengejutkan terungkap bahwa Van Steffen adalah Combosch, putra Ni Luh Kompiang.

Pertemuan kembali itu pun berlangsung haru ketika Van Steffen dan Ni Luh Kompiang sama-sama memiliki foto keluarga berisikan Combosch kecil. Pada saat ini pula, Ni Luh Rai membuat kejelasan dalam hubungan keduanya bahwa perasaan suka mereka sebaiknya dijadikan rasa kasih sayang antarsaudara.

Pementasan drama gong remaja semakin menarik dan membuat penonton terpingkal-pingkal akan tingkah konyol tokoh tambahan di luar cerpen aslinya, I Wayan Gabler, anak Jro Bendesa Gede dari Manukaya.

Ia harus menanggung rasa kecewa karena cintanya ditolak walaupun sudah sempat menugaskan premannya ( Keplag) untuk membujuk dan menakut-nakuti Luh Rai namun tetap ditolak oleh Luh Rai.

Ketua Sanggar Seni Mudra I Gusti Lanang Subamia mengatakan para pemain sempat mengalami kendala dalam dialog, karena selama ini terbiasa memerankan tokoh cerita panji bukan sastra Bali modern.

Pada pementasan malam kemarin, Sanggar Seni Mudra membawa 29 penabuh yang mengiringi 15 tokoh drama. “Kami bersyukur bisa tampil di PKB karena bisa menjadi wadah kebangkitan drama gong,” ujarnya usai pementasan.

BACA JUGA:  Tiga Musisi Suguhkan Antologi Musik Indonesia di The Apurva Kempinski

Ia mengungkap sejak 5 Januari 2023 melakukan latihan untuk tampil pertama kalinya pada ajang PKB. Tema PKK ke-45 Segara Kerthi Prabhaneka Sandhi Samudera Sumber Kehidupan pun menjadi dasar cerita yang ditampilkan selama 3 jam.

“Kehadiran van Steffen sampai di Bali kan melalui laut, jadi laut bukan semata hanya pemisah tapi laut juga pemersatu,” sebutnya.

Ia mengakui selama ini kesempatan mementaskan drama gong relatif terbatas. Selain pada ajang PKB ini, sebelumnya drama gong Sanggar Seni Mudra pentas pada kegiatan-kegiatan Bulan Bahasa Bali. Di luar itu, untuk mengasah naluri drama para pemain dan penabuh sanggar ini kerap tampil ngayah di pura-pura sekitaran Petang.

“Kita perlu usaha yang keras berkomitmen membangkitkan drama gong. Penggemar drama gong sesungguhnya masih ada buktinya setiap pementasan drama gong penuh penonton,” tambahnya merujuk padatnya penonton malam itu.

Meski , mantan pemain drama gong ini mengatakan, perkembangan teknologi informasi dan internet menjadi tantangan besar kesenian tradisional termasuk drama gong. Ia menolak drama gong yang terlalu banyak mengumbar seksualitas. Untuk itu, ia berusaha menyusun naskah cerita dengan memasukkan banyak unsur komedi, untuk membungkus nilai-nilai yang ingin disampaikan. Menurutnya cara itu akan mampu memikat para penonton milenial.

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE

error: Content is protected !!