SINGARAJA, BALIKONTEN.COM – Kejaksaan Negeri (Kejari) Singaraja menegaskan akan tetap menjalankan eksekusi terhadap putusan Mahkamah Agung dalam kasus penodaan Hari Suci Nyepi tahun 2023 di Desa Sumberkelampok. Jika dua terpidana, Acmat Saini (51) dan Mokhamad Rasad (57), kembali menolak panggilan kedua, maka pemanggilan paksa akan dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Singaraja, Dewa Gede Baskara Aryasa, SH, menegaskan hal tersebut pada Jumat (9/2), saat menerima delegasi organisasi kemasyarakatan Hindu, termasuk Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan tim hukumnya. Delegasi tersebut antara lain dihadiri oleh Putu Wirata Dwikora, SH, MH., Dr. I Ketut Widia, SH, MH., serta sejumlah akademisi, aktivis hukum, dan perwakilan LBH Paiketan.
“Kedua terpidana telah menolak menghadiri panggilan pertama. Jika panggilan kedua juga diabaikan, maka langkah hukum selanjutnya adalah pemanggilan paksa. Kami memastikan eksekusi tetap dilaksanakan sesuai prosedur,” ujar Dewa Gede Baskara Aryasa.
Dukungan Penuh dari Organisasi Hindu
Para delegasi yang dipimpin oleh Putu Wirata Dwikora menyampaikan dukungan penuh terhadap langkah Kejari Singaraja dalam menegakkan putusan Mahkamah Agung dengan nomor 1664 K/Pid/2024, yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar dan Pengadilan Negeri Singaraja. Mereka juga menegaskan bahwa jika Kejari Singaraja tidak melaksanakan eksekusi, maka aksi massa dalam jumlah lebih besar bukan tidak mungkin terjadi.
“Kami telah mendukung langkah hukum sejak awal, termasuk saat mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan banding. Awalnya hanya divonis hukuman percobaan, tetapi dengan desakan masyarakat, Pengadilan Tinggi akhirnya menjatuhkan hukuman empat bulan penjara. Kami mengapresiasi putusan kasasi Mahkamah Agung yang menguatkan vonis tersebut. Namun, ketika muncul penolakan eksekusi, terutama adanya tekanan dari Kepala Desa Sumberkelampok, kami sangat kecewa,” ujar Made Bandem Dananjaya dan Dr. Ketut Widia.
Kepastian Hukum Harus Dijaga
Pakar hukum lainnya, Made Suastika Ekasana dan Made Suka Artha, menegaskan bahwa jika putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan, maka hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi sistem hukum di Indonesia.
“Jika negara tunduk pada individu atau kelompok yang menolak eksekusi, maka kepastian hukum akan terancam. Ini bisa menjadi contoh buruk bagi terpidana kasus lain, yang merasa bisa menghindari hukuman hanya dengan menolak dieksekusi,” kata Made Suastika Ekasana.
Kejari Singaraja Pastikan Eksekusi Berjalan
Menanggapi berbagai dukungan tersebut, Kasi Intel Kejari Singaraja menyampaikan apresiasi dan memastikan bahwa eksekusi akan tetap dijalankan. Sebagai seorang jaksa yang berasal dari Bali, ia menegaskan bahwa pelaksanaan hukum harus tetap berjalan agar “taksu” Bali tetap terjaga.
“Jika putusan Mahkamah Agung yang sudah inkracht tidak dilaksanakan, maka nilai-nilai keadilan dan taksu Bali akan memudar. Kami akan memastikan bahwa eksekusi tetap berjalan sesuai mekanisme hukum yang berlaku,” tegasnya.
Ia juga menjawab pertanyaan Ketua Tim Hukum PHDI Bali, Putu Wirata Dwikora, tentang sikap Kajari Singaraja dan Kejati Bali terhadap penolakan eksekusi oleh terpidana. Menurutnya, Kajari Singaraja telah memberikan arahan bahwa eksekusi harus tetap dilakukan, dimulai dari pemanggilan pertama, kedua, dan terakhir pemanggilan paksa jika tetap tidak diindahkan.
Sementara itu, pihak Kejati Bali diyakini juga memiliki sikap tegas dalam menegakkan hukum. Jika panggilan pertama dan kedua tidak direspons, maka eksekusi dengan pemanggilan paksa akan menjadi langkah terakhir guna memastikan supremasi hukum tetap ditegakkan.
Dengan komitmen ini, Kejari Singaraja menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung dalam kasus penodaan Hari Suci Nyepi akan tetap dijalankan, tanpa kompromi terhadap tekanan atau intervensi non-hukum. ***