16/10/2025

Kenapa Kelahiran Wuku Wayang Harus Mebayuh? Yuk Simak Penjelasannya!

apa itu ngotonin di bali

Ngotonin adalah hari kelahiran atau ulang tahun versi Bali/ PHDI/ Bali Konten

DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Tumpek Wayang hadir sebagai salah satu hari suci yang sarat makna. Hari ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga cerminan kearifan leluhur dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual. Bagi masyarakat Bali, Tumpek Wayang dikenal sebagai momen pelaksanaan upacara bayuh oton sapuh leger, yakni sebuah ritual khusus yang ditujukan bagi anak-anak yang lahir pada wuku Wayang. Mengapa ritual ini begitu penting?

Wuku Wayang dan Anak yang “Lahir Salah”

Dalam kalender Bali, wuku Wayang adalah salah satu periode dalam siklus 210 hari. Anak yang lahir pada wuku tertentu, terutama pada hari Sabtu Kliwon, dianggap memiliki keunikan sekaligus kerentanan. Dalam kepercayaan tersebut, mereka disebut “lahir salah” atau salah wadi, bukan karena adanya cacat fisik atau kesalahan dari orang tua, tetapi karena posisi kelahirannya dianggap rentan terhadap pengaruh negatif, terutama dari Batara Kala. Untuk melindungi anak-anak ini, diadakan upacara bayuh oton, sebuah ritual penyucian spiritual yang menggunakan Tirtha Wayang dan dipimpin oleh seorang dalang yang dikenal sebagai Sang Mpu Leger.

Ritual ini bukan sembarang upacara. Ia melibatkan persembahan yang lebih besar dibandingkan bayuh oton biasa, lengkap dengan pagelaran wayang kulit yang mengambil cerita tentang Batara Kala.

Kisah Batara Kala dan Dewa Kumara

Dalam mitologi Bali, Batara Siwa memiliki dua putra yaitu Batara Kala yang berwatak seperti raksasa dan Dewa Kumara yang lembut. Suatu hari, Batara Kala bertanya kepada ayahnya, “Siapa yang boleh saya santap?” Dengan bijak, Siwa menjawab bahwa Kala boleh memangsa orang yang berjalan tepat di tengah hari atau mereka yang lahir pada wuku Wayang. Mendengar ini, Kala teringat bahwa adiknya sendiri, Dewa Kumara, lahir pada Sabtu Kliwon wuku Wayang. Tanpa basa-basi, ia berniat menyantap adiknya!

Namun, Siwa melarangnya, dengan alasan Kumara masih kecil. Kala, yang keras kepala, tak menyerah. Beberapa waktu kemudian, ia kembali meminta izin. Kali ini, Siwa bertindak cepat. Ia menyuruh Kumara melarikan diri ke bumi. Kala, yang tak mau kalah, segera mengejar.

Untuk menyelamatkan Kumara, Siwa dan Batari Uma turun ke bumi dengan menunggangi lembu putih, tepat saat matahari berada di puncaknya. Mereka menghadang Kala dan memberikan teka-teki rumit. “Jika kamu bisa memecahkan teka-teki ini, kamu boleh menyantapku” kata Siwa. Kala, yang terlalu bersemangat, gagal memecahkan teka-teki itu hingga matahari mulai condong ke barat. Kumara pun berhasil melarikan diri lebih jauh.

Petualangan Kumara dan Kutukan Batara Kala

Dalam pelariannya, Dewa Kumara bersembunyi di berbagai tempat yang tak terduga. Kala, yang hampir menemukannya, marah besar saat gagal menangkap Kumara. Dengan kesal, ia mengutuk siapa saja yang membuang sampah sembarangan akan terkena penyakit menular. Kumara lalu berpindah ke tungku api di dapur seorang warga. Kala, yang kembali hampir menangkapnya, mengambil tungku dari sisi yang salah. Kumara lolos lagi, dan Kala mengutuk bahwa siapa pun yang lalai menutup tungku saat memasak akan mengalami kebakaran.

Akhirnya, Kumara sampai di sebuah pagelaran wayang. Dengan penuh harap, ia memohon perlindungan kepada Ki Dalang. Sang dalang, yang penuh kasih, menyembunyikan Kumara di dalam bungbung gender (tabung bambu alat musik gamelan). Ketika Kala tiba, ia tergiur oleh bebantenan (persembahan) di tempat pagelaran dan memakannya hingga habis. Setelah kenyang, ia bertanya, “Di mana Kumara?” Dengan tenang, Ki Dalang menjawab, “Kumara ada di bawah perlindunganku. Jika kamu bisa mengembalikan banten itu utuh, aku serahkan Kumara. Jika tidak, kamu tak boleh menyentuhnya.”

Tentu saja, Kala tak bisa mengembalikan banten yang sudah dilahapnya. Dengan berat hati, ia menyerah. Kumara selamat dan kembali ke sorga. Dari peristiwa ini, lahirlah kesepakatan antara Kala dan Ki Dalang, anak yang lahir pada wuku Wayang harus menjalani penglukatan Mpu Leger. Jika tidak, Kala berhak memangsa mereka.

Tradisi dan Makna Bayuh Oton

Upacara bayuh oton untuk anak wuku Wayang bukanlah ritual sederhana. Ia perlu mempersiapkan segalanya dengan baik, termasuk Tirtha Wayang dan pertunjukan wayang kulit yang dipimpin oleh dalang berpengalaman yaitu Sang Mpu Leger. Pagelaran ini biasanya mengangkat cerita Batara Kala untuk mengenang kisah perlindungan Dewa Kumara. Upacara ini dianggap sebagai bentuk pembersihan spiritual agar anak terhindar dari pengaruh buruk Batara Kala.

Tumpek Wayang bukan hanya soal melindungi anak yang lahir pada wuku tertentu. Hari ini juga mengingatkan kita akan keseimbangan antara kebaikan dan keburukan, antara perlindungan dan ancaman. Kisah Batara Kala dan Dewa Kumara mencerminkan perjuangan abadi antara nafsu dan kebijaksanaan. Lewat peran Ki Dalang, kita belajar bahwa kepekaan, kecerdasan, dan kasih sayang bisa mengatasi ancaman, bahkan dari sosok sekuat Batara Kala.

Bagi masyarakat Bali, Tumpek Wayang juga menjadi momen untuk menghormati seni wayang kulit sebagai warisan budaya yang tak sekadar hiburan, tetapi juga sarana spiritual. Wayang bukan hanya cerita, ia adalah jembatan antara dunia manusia dan dunia para dewa, antara masa lalu dan masa kini.

Tumpek Wayang menjadi momentum berharga untuk mengenang nilai-nilai leluhur, memperkuat hubungan selaras dengan alam, serta memberikan rasa aman bagi generasi mendatang. Bagi anak-anak yang lahir pada wuku Wayang, upacara bayuh oton sapuh leger bukan hanya sebuah tradisi, melainkan juga wujud kasih sayang dan perhatian dari keluarga dan masyarakat sekitarnya. Di balik cerita mitologi yang penuh warna, tersimpan pelajaran tentang keseimbangan, keberanian, dan pentingnya menjaga tradisi agar tetap hidup.

***

 

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE

error: Content is protected !!