DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Hari ini, umat Hindu di Bali kembali memperingati Hari Raya Saraswati, sebuah hari suci yang dirayakan setiap 210 hari sekali, tepatnya pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung. Momen sakral ini dipercaya sebagai turunnya ilmu pengetahuan serta bentuk penghormatan kepada Dewi Saraswati, dewi kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan.
Makna Hari Raya Saraswati dalam Tradisi Hindu
Hari Raya Saraswati memiliki dasar kuat dalam teks suci Lontar Sundarigama, yang menjadi pedoman pelaksanaan upacara di Bali, baik yang berdasarkan siklus sasih maupun wuku. Menurut Dosen Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, lontar ini menguraikan tata cara upacara Saraswati, termasuk penggunaan berbagai perlengkapan upacara seperti suci, peras, daksina, bunga wangi, sesayut Saraswati, dan berbagai sesajen lainnya.
Pemujaan pada hari Saraswati berfokus pada penghormatan terhadap ilmu pengetahuan, yang diwujudkan dalam penghormatan terhadap pustaka suci dan aksara. Dalam tradisi ini, masyarakat Hindu melakukan upacara dengan puspa wangi dan pemujaan kepada Dewi Saraswati sebagai simbol kebijaksanaan yang menuntun umat manusia menuju pencerahan.
Simbolisme Dewi Saraswati
Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik dengan empat tangan yang masing-masing membawa genitri, keropak, rebab, serta ditemani oleh angsa dan burung merak. Setiap elemen dalam representasi Dewi Saraswati memiliki makna filosofis yang mendalam:
- Genitri melambangkan ilmu pengetahuan yang tak berujung, menegaskan konsep pembelajaran seumur hidup.
- Keropak sebagai simbol pustaka suci, mewakili kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
- Rebab menggambarkan harmoni dan keindahan ilmu pengetahuan yang dapat dinikmati melalui seni.
- Angsa melambangkan kemampuan membedakan yang baik dan buruk, mengajarkan kebijaksanaan dalam menerapkan ilmu.
- Burung merak mencerminkan keindahan pengetahuan yang mampu memperindah kehidupan manusia.
Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, makna dari representasi Saraswati ini menekankan bahwa ilmu pengetahuan harus dipahami dengan bijaksana agar tidak menjadi pedang bermata dua yang dapat merusak kehidupan.
Mitos Larangan Membaca saat Saraswati: Fakta atau Salah Kaprah?
Salah satu kepercayaan yang berkembang di masyarakat adalah larangan membaca atau belajar saat Hari Raya Saraswati. Namun, menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Justru pada hari Saraswati, ilmu pengetahuan sedang turun, sehingga sebaiknya umat Hindu lebih giat belajar dan memperdalam wawasan.
Namun, ada tata krama yang perlu diperhatikan. Sebelum belajar, umat dianjurkan untuk terlebih dahulu menghaturkan bakti kepada Tuhan melalui sembahyang dan bebantenan di merajan masing-masing. Hal ini mencerminkan penghormatan terhadap sumber ilmu yang sejati.
Rangkaian Upacara Setelah Saraswati
Hari Raya Saraswati bukanlah perayaan yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari rangkaian upacara spiritual yang berkesinambungan:
-
Banyupinaruh (sehari setelah Saraswati)
- Melambangkan aliran ilmu pengetahuan yang harus terus mengalir dalam kehidupan.
- Umat Hindu melakukan ritual penyucian diri dengan air suci sebagai simbol pembersihan pikiran dan perilaku.
-
Pagerwesi (empat hari setelah Saraswati)
- Secara harfiah berarti “pagar besi,” yang bermakna perlindungan terhadap ilmu agar tidak disalahgunakan.
- Umat Hindu melakukan pemujaan untuk memperkuat tekad dan keyakinan dalam menjalankan ilmu dengan kebijaksanaan.
Hari Raya Saraswati untuk Semua Kalangan
Hari Raya Saraswati tidak hanya relevan bagi pelajar atau akademisi, tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat. Ilmu pengetahuan adalah penerang kehidupan, dan perayaan ini mengingatkan bahwa kebijaksanaan harus terus dikembangkan oleh setiap individu, baik tua maupun muda.
Oleh karena itu, makna Hari Raya Saraswati seharusnya tidak sekadar dirayakan, tetapi juga dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai penghormatan terhadap ilmu yang menjadi cahaya peradaban manusia. ***