Pura Ulun Swi: Pusat Kemakmuran Sawah di Jimbaran
Pura Ulun Swi/ balikonten
JIMBARAN, BALIKONTEN.COM – Di tengah pesona wisata Pantai Jimbaran, Bali, tersembunyi sebuah permata spiritual bernama Pura Ulun Swi, yang oleh warga lokal kerap disebut Pura Gede. Pura ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan simbol kemakmuran sawah dan ladang, mengakar kuat dalam budaya agraris Bali. Dengan sejarah panjang yang merentang hingga abad ke-11, Pura Ulun Swi menawarkan cerita menarik tentang tradisi, spiritualitas, dan hubungan erat masyarakat Bali dengan alam.
Makna Nama Ulun Swi
Secara etimologis, nama Ulun Swi berasal dari dua kata Sansekerta: Ulun (dari Ulu, berarti kepala, pusat, atau sumber) dan Swi yang merujuk pada sawah atau air. Menurut Lontar Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul (lembar ke-18), Ulun Swi dapat diartikan sebagai “pusat kemakmuran sawah” atau “sumber kehidupan ladang”. Nama ini mencerminkan fungsi pura sebagai penjaga kesuburan tanah pertanian, yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat Bali.
Kata Swi juga memiliki makna air, elemen vital bagi pertanian. Dengan demikian, Pura Ulun Swi bukan hanya tempat suci, tetapi juga representasi keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Bagi petani Bali, pura ini adalah pusat doa untuk hasil panen yang melimpah dan perlindungan dari bencana alam.
Lokasi Strategis di Jimbaran
Terletak di selatan Banjar Mendega, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Pura Ulun Swi berjarak sekitar 15 km dari pusat Kota Denpasar, tepatnya di sisi barat jalur Denpasar-Uluwatu. Pura ini menghadap ke timur, menyapa matahari pagi, dengan Pasar Jimbaran yang ramai di seberang jalan. Dikelilingi perumahan warga, suasana pedesaan yang asri masih terasa, meski Jimbaran kini dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia.
Desa Jimbaran sendiri terletak di pantai selatan Bali, dekat tanah genting pulau ini, dengan iklim yang cenderung panas. Nama “Jimbaran” berasal dari kata yang berarti “luas”, menggambarkan lanskap datar dan terbuka yang mendukung aktivitas pertanian dan perdagangan.
Jejak Sejarah Pura Ulun Swi
Sejarah Pura Ulun Swi sarat dengan kisah epik dan transformasi budaya. Berdasarkan Lontar Usana Dewa, pura ini didirikan oleh Empu Kuturan pada abad ke-11, bersamaan dengan pembangunan Pura Sad Kahyangan lainnya di Bali. Lontar ini menyebutkan bahwa Empu Kuturan, yang berasal dari Majapahit, membawa linggih Bhatara ke Bali, termasuk Bhatara Bhakabhumi yang bersemayam di Ulun Swi sebagai “jiwa sawah”.
Lontar Ilikita dari Puri Gede Mengwi menceritakan bahwa pura ini awalnya adalah sebuah tempat suci kecil di tengah hutan Jimbaran. Ketika I Gusti Agung Dimade melarikan diri dari Gelgel dan menemukan pura ini, ia berdoa untuk keselamatan dan berjanji memperbesar pura jika doanya dikabulkan. Janji ini ditepati oleh keturunannya, yang membangun meru bertumpang 11 sebagai pusat pemujaan.
Pada masa Cokorda Made Munggu, Raja Mengwi kelima, pura ini kembali direnovasi sekitar tahun 1763 Masehi, sebagaimana tercatat pada ulap-ulap pintu Kuri Agung. Namun, karena konflik politik antara Mengwi dan Badung, pengelolaan pura beralih ke Puri Pamecutan di Denpasar, dan sebuah pesimpangan Pura Ulun Swi dibangun di Desa Seseh.
Arca kuno di depan meru bertumpang 11, seperti Arca Dewata Nawa Sangga, Panca Pandawa, dan Dewa Astha Wasu, diduga merupakan kronogram yang menunjukkan tahun pendirian pura, yakni 958 Saka (1036 Masehi). Angka ini selaras dengan masa kehadiran Empu Kuturan di Bali, sebagaimana tercatat dalam prasasti Batu Madeg di Besakih.
Fungsi Spiritual dan Budaya
Menurut Lontar Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, Pura Ulun Swi adalah “pengikat orang Bali” yang menjaga jiwa sawah dan ladang. Pura ini dianggap setara dengan Pura Sad Kahyangan, dengan fungsi khusus sebagai pelindung pertanian. Lontar Usana Dewa menyebutkan bahwa upacara di pura ini, terutama pada sasih Kapat, menggunakan kerbau hitam sebagai persembahan untuk memohon kesuburan tanah.
Pura ini juga menjadi tempat pemujaan bagi para petani, subak, dan krama carik yang memohon keselamatan tanaman mereka. Lontar Sri Purana Tattwa menegaskan bahwa kegagalan mengadakan upacara di Ulun Swi dapat menyebabkan gagal panen, serangan hama, hingga kekeringan. Oleh karena itu, pura ini memiliki peran sentral dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Denah dan Arsitektur
Pura Ulun Swi memiliki dua halaman: jaba pura (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam), dipisahkan oleh tembok tinggi. Candi bentar di jaba pura diapit pohon beringin, sementara pintu masuk ke jeroan melalui kori agung bergaya Majapahit yang telah direnovasi, dengan daun pintu asli dari masa Cokorda Munggu.
Di jeroan, terdapat meru bertumpang 11 sebagai linggih Bhatara Bhakabhumi, lengkap dengan enam padmasana kayu sebagai pesimpangan Sad Kahyangan Jagat Bali. Gedong-gedong lain, seperti Gedong Ratu Sasuhunan dan Gedong Ratu Pamayun, melengkapi susunan pelinggih, masing-masing dengan fungsi spiritual spesifik.
Upacara dan Tradisi
Piodalan Pura Ulun Swi diadakan setiap 210 hari pada Sukra Pahing Dungulan, dengan upacara rutin seperti Purnama, Sugihan Bali, dan Tumpek Kuningan. Banten yang digunakan meliputi peras pengambeyan untuk piodalan dan sodahan untuk rerahinan. Namun, tradisi kuno seperti persembahan kerbau hitam pada sasih Kapat sudah jarang dilakukan, kemungkinan akibat perubahan zaman dan dinamika politik di masa lalu.
Pemangku pura, I Wayan Kampil, adalah keturunan Arya Tegeh Kori, yang secara historis ditugaskan untuk merawat pura ini. Ia bertugas menyelenggarakan upacara kecil dan merawat pelinggih, dengan hak istimewa bebas dari kewajiban desa sebagai imbalannya.
Pesona untuk Wisatawan dan Pemedek
Bagi wisatawan yang mencari pengalaman budaya autentik di Bali, Pura Ulun Swi menawarkan lebih dari sekadar keindahan arsitektur. Pura ini adalah jendela menuju jiwa agraris Bali, tempat spiritualitas dan tradisi bertaut erat dengan kehidupan sehari-hari. Pemedek dari luar Jimbaran, terutama para petani, sering datang untuk memohon berkah bagi tanaman mereka, menambah suasana sakral yang hidup.
Namun, pengunjung harus memperhatikan pantangan masuk pada hari Buda Wage dan Buda Kliwon, sebagaimana tercantum dalam lontar bhisama pura, yang juga mencatat tahun 1060 Saka (1138 Masehi).
Penutup
Pura Ulun Swi bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga simbol kehidupan Bali yang bergantung pada kesuburan sawah dan ladang. Dengan akar budaya yang kuat dan cerita yang memukau, pura ini mengajak kita untuk menghargai hubungan harmonis antara manusia, alam, dan leluhur. Jika Anda berkunjung ke Jimbaran, luangkan waktu untuk merasakan kedamaian dan makna mendalam dari Pura Ulun Swi, pusat kemakmuran sawah yang abadi.
***