17/11/2025

Diawali dengan Tumpek Bubuh, Begini Rangkaian Lengkap Galungan Kuningan

ucapan galungan kuningan

Ilustrasi umat mengucapkan salam panganjali umat Om Swastyastu/ Balikonten

DENPASAR, BALIKONTEN.COM –  Di Bali, Hari Raya Galungan dan Kuningan bukan hanya momen perayaan biasa. Rangkaian ini berlangsung selama satu bulan tujuh hari, atau yang dikenal masyarakat setempat sebagai “abulan pitung dina”. Bagi umat Hindu Bali, ini adalah perjalanan spiritual yang mendalam, mencerminkan keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur. Tradisi ini bertujuan untuk menyucikan jiwa serta memperkuat keyakinan agama.

Setiap tahap dalam rangkaian Galungan Kuningan sarat dengan nilai budaya dan spiritual. Mulai dari persiapan awal hingga penutupan, semuanya dirancang untuk membangun harmoni. Berikut penjelasan mendetail tentang tradisi-tradisi yang menyertainya, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Hindu di Bali.

Tumpek Wariga: Penghormatan pada Alam dan Kemakmuran

Sekitar 25 hari sebelum Galungan tiba, umat Hindu merayakan Tumpek Wariga. Ini adalah saat untuk menghormati Sang Hyang Sangkara, dewa pelindung tumbuhan dan sumber kemakmuran. Fokus utama jatuh pada pohon-pohon penghasil buah.

Masyarakat menyiram tanaman dengan air suci yang telah dimohon di pura, lalu menyajikan persembahan seperti bubur sumsum berwarna-warni, canang, serta sesayut tanem tuwuh. Sambil mengetuk batang pohon, mereka berdoa agar tanaman segera berbuah lebat, siap mendukung upacara Galungan mendatang. Tradisi ini menunjukkan rasa syukur atas berkah alam sekaligus menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan.

Sugihan Jawa: Pembersihan Alam Semesta

Pada Kamis Wage wuku Sungsang, tiba Sugihan Jawa. Hari ini didedikasikan untuk membersihkan Bhuana Agung, yang merujuk pada alam semesta. Upacara Mererebu menjadi inti, dengan tujuan menetralkan energi negatif di sekitar.

Umat Hindu membersihkan merajan atau sanggah serta rumah mereka, sebagai simbol penyucian dunia luar. Ini mengajarkan betapa pentingnya menjaga harmoni dengan alam sebelum memasuki tahap perayaan utama Galungan.

Sugihan Bali: Penyucian Tubuh dan Jiwa

Sehari setelahnya, yakni Jumat Kliwon wuku Sungsang, umat merayakan Sugihan Bali. Jika Sugihan Jawa menyasar alam, maka hari ini fokus pada Bhuana Alit, yaitu penyucian tubuh dan jiwa manusia.

Masyarakat mandi untuk membersihkan diri secara fisik, kemudian memohon Tirta Gocara dari sulinggih sebagai lambang penyucian batin. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa kesucian lahir dan batin adalah dasar utama dalam menyambut Galungan.

Hari Penyekeban: Mengendalikan Diri dari Godaan

Minggu Pahing wuku Dungulan menandai Hari Penyekeban, yang secara filosofis berarti “nyekeb indriya” atau mengendalikan hawa nafsu. Umat Hindu dianjurkan membatasi keinginan dan menghindari tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama.

Hari ini berfungsi sebagai latihan spiritual, mempersiapkan hati untuk menyambut Galungan dengan kesadaran penuh.

Hari Penyajan: Memperkuat Komitmen Spiritual

Pada Senin Pon wuku Dungulan, Hari Penyajan menjadi momen untuk meneguhkan niat spiritual. Umat percaya bahwa hari ini mereka diuji oleh kekuatan negatif untuk mengukur kekuatan pengendalian diri.

Tradisi ini menekankan keteguhan iman sebagai persiapan menghadapi puncak perayaan Galungan.

Hari Penampahan: Persiapan Simbolis yang Sibuk

Selasa Wage wuku Dungulan adalah Hari Penampahan, hari yang penuh aktivitas dan makna mendalam. Umat Hindu memasang penjor, bambu melengkung yang dihias cantik sebagai ungkapan syukur atas karunia Tuhan. Penjor bukan sekadar hiasan, melainkan representasi keindahan dan kemakmuran.

Selain itu, ada tradisi menyembelih babi, yang melambangkan kemenangan atas nafsu kebinatangan dalam diri. Dagingnya dipakai untuk upacara, sementara masyarakat menyiapkan suguhan bagi leluhur yang diyakini datang mengunjungi keturunan mereka.

Hari Raya Galungan: Puncak Persembahyangan

Ketika Galungan datang pada Saniscara Pon wuku Dungulan, pulau Bali dipenuhi semangat ibadah. Umat berbondong-bondong ke merajan, panti, dan pura untuk berdoa.

Bagi keluarga yang masih memiliki anggota dimakamkan, ada tradisi mamunjung ka setra, membawa sesaji ke kuburan. Hari ini merayakan kemenangan dharma atas adharma, di mana jiwa-jiwa disucikan dan bersatu dalam iman.

Umanis Galungan: Silaturahmi dan Ngelawang

Kamis Umanis wuku Dungulan melanjutkan suasana dengan Umanis Galungan. Setelah persembahyangan, umat mengadakan Dharma Santi, saling berkunjung ke kerabat untuk mempererat persaudaraan.

Anak-anak ikut meramaikan lewat Ngelawang, menari barong dengan iringan gamelan. Tradisi ini dipercaya mengusir energi negatif dan membawa berkah bagi lingkungan.

Pemaridan Guru: Memohon Berkah Ilahi

Sabtu Pon wuku Galungan adalah Hari Pemaridan Guru, yang berarti memohon anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Sang Hyang Siwa Guru.

Hari ini mengajarkan kerendahan hati dalam mencari petunjuk dan berkah untuk menjalani hidup lebih baik.

Ulihan: Kembalinya Leluhur ke Kahyangan

Minggu Wage wuku Kuningan menandai Hari Ulihan, yang artinya “pulang” atau “kembali”. Umat percaya bahwa leluhur dan dewata kembali ke kahyangan, meninggalkan berkat bagi keturunan.

Ini menjadi saat refleksi atas kasih sayang leluhur dan karunia yang diberikan.

Pemacekan Agung: Simbol Keteguhan Iman

Senin Kliwon wuku Kuningan adalah Hari Pemacekan Agung, yang berasal dari kata “pacek” berarti teguh. Hari ini mengingatkan umat untuk tetap kokoh dalam keyakinan meski menghadapi godaan sepanjang rangkaian Galungan.

Hari Kuningan: Lambang Kebahagiaan dan Kesejahteraan

Hari Kuningan jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan, identik dengan warna kuning yang melambangkan kebahagiaan. Persembahyangan harus rampung sebelum tengah hari, karena setelah itu hanya Bhuta Kala yang menerima sesaji.

Umat memasang tamiang (senjata Dewa Wisnu), kolem (senjata Dewa Mahadewa), dan endong (perbekalan dewata). Tradisi ini memperkuat perjuangan melawan adharma.

Pegatwakan: Penutup Rangkaian dengan Siklus Kehidupan

Sebulan setelah Galungan, pada Rabu Kliwon wuku Pahang, tiba Pegatwakan sebagai akhir perayaan. Penjor yang telah berdiri sejak Penampahan dicabut, dibakar, dan abunya ditanam di pekarangan. Ini melambangkan siklus kehidupan dan penyucian lingkungan.

Makna Abadi dari Rangkaian Galungan Kuningan

Rangkaian Galungan dan Kuningan lebih dari sekadar tradisi; ini adalah cerminan nilai spiritual yang dalam. Dari Tumpek Wariga hingga Pegatwakan, setiap tahap mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Perayaan ini memperkuat ikatan budaya Bali, sekaligus menjadi pengingat untuk menjaga kesucian hati dan lingkungan. Bagi umat Hindu, ini adalah perjalanan menuju pencerahan dan kebahagiaan sejati.

***

 

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE