Sejarah Topeng Sidakarya: Kisah Brahmana Keling dan Perjalanan Spiritualnya
Kolase Topeng Dalem Sidakarya dan Papan Nama Pura Dalem Sidakarya/ Facebook Dalam Sidakarya dan kharismamdanai1.blogspot/ balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Dalam upacara tertentu biasanya akan menampilkan Tari Topeng Sidakarya. Ini sangatlah dikeramatkan dan tidak bisa ditampilkan sembarangan. Ada makna dan arti tertentu dari tarian ini. Topeng Sidakarya akan kita bahas secara singkat dalam artikel ini sebagaimana dirangkum dari beragam sumber.
Asal-Usul Brahmana Keling
Di masa lampau, di sebuah wilayah di Jawa Timur bernama Keling, hiduplah seorang pendeta terkenal yang dikenal sebagai Brahmana Keling. Ia tersohor karena penguasaan ilmu spiritual, terutama “Ilmu Kelepasan Jiwa,” yang menekankan kebenaran sejati. Brahmana Keling, yang nama aslinya hingga kini misterius, adalah putra Danghyang Kayumanis, keturunan Empu Candra, Mpu Bahula, dan Mpu Beradah. Ia mendirikan pertapaan di lereng Gunung Bromo, tempat ia menjalani kehidupan penuh kontemplasi dan kebijaksanaan.
Perjalanan Spiritual Brahmana Keling
Menurut buku Babad Sidakarya karya I Nyoman Kantun, S.H., MM dan Drs. I Ketut Yadnya (terbitan PT Upada Sastra, 2003), Brahmana Keling menjelajahi berbagai wilayah, dari Madura, Bali, hingga Badanda Negara (sekarang Sidakarya). Berikut adalah kisah perjalanan spiritualnya yang penuh makna.
1. Perjalanan ke Madura: Menghidupkan Tradisi
Pada masa itu, Kerajaan Madura dilanda kekacauan karena lalai melaksanakan upacara Saji Pepajegan, sebuah tarian persembahan untuk leluhur. Raja saat itu meragukan pentingnya tradisi tersebut, dan rakyat pun mulai melupakan warisan budaya. Brahmana Keling datang ke Madura untuk membantu. Ia diterima dengan hormat oleh raja dan memberikan nasihat agar upacara tersebut dihidupkan kembali demi kesejahteraan rakyat.
Meski awalnya raja ragu, Brahmana Keling menunjukkan keajaiban spiritualnya. Ia menghidupkan pohon pisang kering hingga kembali hijau, mengubah benang hitam menjadi putih dalam sekejap, dan melakukan berbagai mukjizat lain. Raja pun terkesima dan mematuhi saran Brahmana Keling. Upacara Saji Pepajegan pun sukses dilaksanakan, mengembalikan ketenteraman di kerajaan. Di Madura, ia dijuluki Brahmana Wasaka, yang berarti “ucapan yang selalu terbukti benar.”
2. Perjalanan ke Bali: Tantangan di Pura Besakih
Setelah kembali ke Jawa Timur, Brahmana Keling singgah di Desa Muncar, menikmati keindahan Selat Bali. Di sana, ia bertemu ayahnya, Danghyang Kayumanis, yang bercerita tentang Kerajaan Gelgel di Bali, yang dipimpin Dalem Waturenggong dan didampingi Dang Hyang Nirartha sebagai penasihat spiritual. Mereka sedang mempersiapkan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Terinspirasi, Brahmana Keling melanjutkan perjalanan ke Bali.
Sesampainya di Gelgel, ia tiba dalam kondisi sederhana, dengan pakaian lusuh. Ia menyatakan ingin bertemu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha, yang dianggapnya saudara. Namun, karena penampilannya, masyarakat meragukannya, bahkan tersinggung karena ia mengaku sebagai saudara raja. Meski begitu, Brahmana Keling berhasil masuk ke Pura Besakih dan beristirahat di pelinggih Surya Chandra.
Kedatangannya memicu kemarahan Dalem Waturenggong, yang menganggapnya sebagai pengacau. Brahmana Keling diusir dengan hina, tanpa diakui sebagai saudara. Sebelum pergi, ia mengucapkan kutukan: upacara di Besakih tidak akan berhasil (tan Sidakarya), bunga dan tanaman akan layu, wabah penyakit akan menyebar, dan hama akan menghancurkan Bali. Kutukan ini mengguncang suasana, dan Brahmana Keling pun meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
3. Badanda Negara: Awal Mula Sidakarya
Brahmana Keling akhirnya tiba di Badanda Negara, yang kini dikenal sebagai Sidakarya, di pesisir selatan Kerajaan Badung. Nama Badanda Negara berasal dari kata badanda (pandita atau pandan) dan negara (wilayah), merujuk pada daerah yang dipenuhi pohon pandan, jeruju, dan bakau. Di sana, ia mendirikan pesanggrahan, tempat ia melanjutkan praktik spiritualnya.
Dampak Kutukan di Bali
Pasca kepergian Brahmana Keling dari Besakih, Bali dilanda malapetaka. Tanaman seperti kelapa, pisang, dan padi layu, buah-buahan berguguran, dan hama seperti tikus dan ulat merusak pertanian. Wabah penyakit menyebar, dan konflik antarwarga meningkat. Upacara Eka Dasa Rudra pun terhenti karena kondisi yang kacau.
Dang Hyang Nirartha mencoba melakukan upacara pembasmian, namun tidak berhasil. Akhirnya, Dalem Waturenggong melakukan tapa semadi di Pura Besakih dan mendapat petunjuk bahwa ia telah berdosa dengan mengusir Brahmana Keling, yang sebenarnya adalah saudaranya. Hanya Brahmana Keling yang bisa mengembalikan keadaan seperti semula.
Rombongan pun dikirim untuk menjemput Brahmana Keling di Badanda Negara. Setelah mendapat permintaan maaf dan undangan dari Dalem Waturenggong, Brahmana Keling setuju untuk kembali ke Gelgel.
Pemulihan dan Keajaiban Brahmana Keling
Di Pura Besakih, Brahmana Keling disambut dengan penuh hormat. Dalam pertemuan dengan Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha, ia berjanji mengembalikan keadaan Bali jika diakui sebagai saudara. Dengan kekuatan spiritualnya, ia melakukan keajaiban: mengubah warna ayam menjadi putih, menghidupkan pohon kelapa dan pisang yang layu, menghilangkan hama, dan menyembuhkan wabah penyakit. Semua keajaiban ini membuat hadirin terkagum, dan Dalem Waturenggong akhirnya mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya.
Gelar Dalem Sidakarya dan Warisan Budaya
Keberhasilan Brahmana Keling memulihkan Bali membuat upacara Eka Dasa Rudra pada tahun Saka 1437 (1515 Masehi) berlangsung sukses. Ia dan Dang Hyang Nirartha memimpin upacara tersebut, yang juga mencakup upacara Nangluk Merana untuk mengatasi bencana. Atas jasanya, Brahmana Keling dianugerahi gelar Dalem Sidakarya, yang berarti “raja yang membawa keberhasilan.”
Dalem Waturenggong juga menetapkan bahwa setiap upacara Hindu di Bali wajib memohon tirta Penyida Karya dari pesraman Dalem Sidakarya agar sukses. Sarana upacara seperti sayut Sidakarya, tipat Sidakarya, dan Tari Topeng Sidakarya menjadi bagian penting dalam tradisi. Selain itu, Catur Bija (beras, ketan, beras merah, injin) dan Panca Taru (cempaka, sandat, naga sari, dadap, kelapa) digunakan sebagai simbol spiritual dalam upacara.
Tari Topeng Sidakarya: Simbol Penyucian
Untuk mengenang peran Dalem Waturenggong, Dang Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya, dibuatlah Tari Topeng Sidakarya oleh Pasek Akeluddadah. Nama Akeluddadah berasal dari akelud (penyucian) dan dadah (air suci), melambangkan pembersihan dari kotoran spiritual. Topeng ini menggambarkan Tiga Sakti: Dalem Waturenggong (raja), Dang Hyang Nirartha (pendeta), dan Dalem Sidakarya (penyelamat).
Ciri khas Topeng Sidakarya adalah warna putih, mata sipit, gigi sedikit maju, dan wajah setengah manusia setengah demanik. Penari membawa bokoran berisi canang sari, dupa, dan beras kuning, menari dengan gerakan dinamis, dan membagikan uang kepeng kepada anak-anak sebagai simbol penyembuhan dan kesejahteraan. Penari juga mengucapkan mantra untuk mengusir roh jahat dan menyebarkan kebaikan, diiringi taburan beras kuning dan sekar ura sebagai simbol sedekah.
Warisan Abadi Dalem Sidakarya
Tari Topeng Sidakarya menjadi penutup setiap upacara Yadnya, melambangkan keberhasilan dan penyucian. Tradisi ini terus hidup di Bali, mengingatkan umat akan kekuatan spiritual dan kebijaksanaan Brahmana Keling, yang kini dikenang sebagai Dalem Sidakarya. Kisahnya adalah bukti bahwa kebenaran dan kebajikan selalu membawa harmoni bagi dunia.
***