DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Kasus pelanggaran Nyepi di Desa Sumberklampok Buleleng masih bergulir. Ketua PHDI I Nyoman Kenak, SH berharap tidak melakukan provokasi yang dapat memperkeruh suasana.
Ia menyinggung terkait komentar Nur Abidin, Kuasa Hukum Terdakwa ‘’insiden Nyepi Sumberkelampok’’ yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Singaraja, yang mempertanyakan apakah portal yang diketuk-ketuk termasuk simbol agama.
‘’Janganlah melontarkan ucapan yang menyederhanakan, seakan-akan hari suci Nyepi di Bali dalam insiden yang pelakunya diadili di pengadilan ini hanya pembukaan portal semata-mata. Kami sangat menghargai semeton dan tokoh-tokoh agama yang telah bersepakat melalui FKUB Bali,” ungkapnya Sabtu 4 Mei 2024 di Denpasar saat pertemuan bersama Tim Hukum PHDI Bali.
Bahwa kuasa hukum melakukan pembelaan terhadap kliennya, Kenak menilai itu wajar dan sudah ada kode etiknya.
“Silakan dilakukan secara professional, tapi janganlah menyederhanakan hari suci Nyepi di Bali sebatas portal yang dibuka atau kata-kata sejenis itu. Mari menjalankan profesi dalam koridor kode etik,’’ ujar Nyoman Kenak.
Nur Abidin kuasa para terdakwa sebelumnya menyatakan keyakinannya, bahwa kedua terdakwa, Acmad Saini dan Mokhamad Rasad, akan bebas murni dalam perkara tersebut.
Ketua Tim Hukum PHDI Bali Putu Wirata Dwikora, SH menerangkan, esensi dari hari suci Nyepi tidak bisa disimplikasi menjadi portal yang diketuk-ketuk, ataupun yang dibuka paksa oleh terdakwa, saat peristiwa terjadi.
Hari suci Nyepi juga bukan semata-mata menyucikan portal atau benda-benda fisik, tetapi merupakan konsep yang menyeluruh dalam konsep Catur Beratha Panyepian, yaitu amati gni, amati karya, amati lelungaan, amati lelanguan, yang artinya tidak menyalakan api termasuk api nafsu, tidak bekerja, tidak bepergian dan tidak bereuporia.
Dan dikecualikan untuk situasi tertentu, seperti bila ada bencana, sakit yang memerlukan perawatan darurat, dan kondisi lainnya.
Jadi, pembukaan portal secara paksa tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan kesatuan dengan kata-kata yang diucapkan seperti terekam video, kemudian setelah portal dibuka paksa, ada kerumunan yang kemudian terlihat pergi dengan sepeda motor masing-masing, dalam video, imbuh Putu Wirata.
‘’Memang, yang menjalani Catur Beratha Panyepian secara keagamaan adalah kami umat Hindu bersama alam Bali, sedangkan umat lain, sesuai kesepakatan bersama yang sudah berlangsung bertahun-tahun, umat lain menghargai dalam konsep kebhinnekaan,” terangnya didampingi anggota Tim Hukum PHDI Bali Ketut Artana.
Bahwa ada pernyataan Bersama FKUB dari seluruh majelis agama yang ada di Bali, dan sudah berlangsung bertahun-tahun menjelang hari suci Nyepi, membuktikan bahwa sikap saling menghargai diantara sesama umat beragama memang nyata-nyata ada.
Apabila pelanggaran terhadap pernyataan bersama dari FKUB dianggap hal biasa maka kami sangat khawatir dikemudian hari pelanggaran terhadap hari suci Nyepi menjadi hal yang biasa saja dan semakin marak karena dianggap tidak berkonsekwensi hukum di masyarakat.
Bahwa sudah ada permintaan maaf dari terdakwa melalui paruman di desa adat, itu patut dihargai. Namun, ditambahkan, hendaknya proses hukum yang berjalan dilalui secara professional, termasuk oleh kuasa hukum terdakwa.
Sementara anggota Tim Hukum PHDI Bali, Pasek Wayan Sukayasa menyebut membuka paksa portal yang ada diruang publik di hari suci Nyepi, disertai ucapan-ucapan provokasi tertentu, yang dilakukan di hari raya suci Nyepi, sudah diproses oleh kepolisian, kejaksaan dan sekarang sudah di pengadilan.
“Mari hargai proses persidangan yang merupakan ranah hukum, dengan tetap saling menghargai semua penganut agama, dan tidak menyederhanakan suatu peristiwa, seakan-akan itu hanya mengetuk portal,’’ ujar Wayan Sukayasa. ***