Tantangan Ekonomi Indonesia 2025: Tarif AS Melonjak, Konsumsi Melemah, dan PHK Meroket
Tarif Impor 32% Trump Minim Pengaruh ke Pasar Modal Indonesia/ pixabay/ balikonten
JAKARTA, BALIKONTEN.COM – Perekonomian Indonesia menghadapi ujian berat di tengah ketidakpastian global. Tekanan daya saing ekspor Indonesia juga diakibatkan oleh adanya perpanjangan masa tenggat negosiasi tarif AS hingga 1 Agustus 2025 nanti. Sementara itu, konsumsi domesti yang cendrung melempen juga membuat ancaman pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin nyata.
Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha, menyatakan bahwa pasar cenderung stabil menyikapi kebijakan tarif baru AS. Namun, ia menyoroti urgensi negosiasi untuk menekan tarif ekspor Indonesia, yang saat ini mencapai 32 persen, agar lebih kompetitif seperti Vietnam yang hanya 20 persen.
“Masih ada waktu hingga 1 Agustus. Jika tarif tidak turun, Indonesia berisiko tertinggal dari Vietnam, meski masih lebih unggul dibandingkan Bangladesh dan Kamboja,” ungkap Dimas dalam laporan Seeking Alpha Edisi Juli 2025, yang dirangkum dari beragam sumber.
Sementara itu, di AS, The Fed masih menahan suku bunga acuan karena ketidakpastian dampak tarif terhadap inflasi. Data ekonomi AS menunjukkan pelemahan konsumsi, dengan pendapatan personal naik 0,8 persen namun pengeluaran hanya tumbuh 0,2 persen pada April 2025.
Konsumsi Domestik Terpuruk
Di dalam negeri, tanda-tanda perlambatan ekonomi semakin jelas. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2025 anjlok ke 117,5, level terendah sejak 2022. Penjualan mobil hingga Mei 2025 hanya mencapai 317.000 unit, lebih rendah dibandingkan masa pandemi pada 2021.
Sektor manufaktur juga terpuruk. Indeks PMI berada di zona kontraksi selama tiga bulan berturut-turut, dengan angka 46,7 pada April, naik sedikit ke 47,4 pada Mei, lalu turun lagi ke 46,9 pada Juni. Pertumbuhan kredit pada Mei hanya 8,1 persen (year on year), memaksa Bank Indonesia merevisi target pertumbuhan kredit tahunan dari 11–13 persen menjadi 8–11 persen.
Dimas menambahkan, melemahnya konsumsi domestik dipicu oleh lonjakan PHK. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 24.000 pekerja terkena PHK per April 2025, naik dari 18.000 pada periode sama tahun sebelumnya.
“Pekerja informal juga melonjak hingga 59,4 persen dari total angkatan kerja, lebih tinggi dari sebelum pandemi. Ini jelas memengaruhi pola belanja masyarakat,” papar Dimas.
Ia menilai, menurunnya daya saing industri dalam negeri menjadi akar masalah, terutama karena gempuran produk impor murah dan berkualitas di sektor padat karya, seperti garmen dan tekstil.
Harapan dari Kebijakan Moneter dan Fiskal
Bank Indonesia (BI) berpeluang menurunkan BI Rate pada paruh kedua 2025. Setelah dipertahankan di 5,5 persen pada Juni, BI mengisyaratkan kebijakan moneter yang lebih longgar. Pasar memprediksi BI Rate bisa turun ke kisaran 5,00–5,25 persen hingga akhir tahun.
Di sisi fiskal, belanja pemerintah menjadi tumpuan. Realisasi belanja pemerintah pusat pada Juni tumbuh 0,6 persen (year on year), berbalik dari kontraksi 15,8 persen pada Mei. Pertumbuhan ini ditopang oleh realokasi APBN, stimulus tahap kedua senilai Rp 24,4 triliun, dan pembayaran gaji ke-13 ASN sebesar Rp 49,4 triliun.
***