Transaksi E-Commerce Meroket Rp450 Triliun, Kepatuhan Pajak Masih Jadi Tantangan
Kabar Baik untuk Wajib Pajak: Pemerintah Hapus Sanksi Keterlambatan Bayar dan Lapor SPT Tahunan 2024/ balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM –Â Bisnis toko online di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan pesat. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, transaksi di sektor e-commerce sepanjang 2024 mencapai angka fantastis Rp450 triliun. Proyeksi untuk 2025 bahkan lebih menjanjikan, dengan potensi kenaikan yang signifikan.
Namun, di balik gemerlap angka tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan: kepatuhan pajak pelaku usaha online masih jauh dari harapan.
Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, menyoroti rendahnya kesadaran pajak, terutama di kalangan pelaku usaha dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun. “Kepatuhan pajak dari pelaku usaha besar di sektor ini masih kurang memadai,” ujarnya pada Jumat (4/7/2025). Padahal, sektor e-commerce kini menjadi salah satu tulang punggung ekonomi digital Indonesia.
Sistem Pajak Mandiri Dinilai Kurang Efektif
Selama ini, pelaku usaha toko online diharuskan menghitung dan melaporkan pajak mereka secara mandiri melalui sistem self-assessment. Namun, pendekatan ini tampaknya belum mampu mengakomodasi jumlah pelaku usaha yang terus bertambah. Banyak pedagang online, terutama yang beroperasi di marketplace, belum sepenuhnya memahami atau melaksanakan kewajiban perpajakan mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, DJP berencana menunjuk platform marketplace sebagai pemungut pajak. Langkah ini diharapkan mempermudah proses pelaporan dan pembayaran pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) 22 sebesar 0,5 persen untuk pedagang dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta. “Kami ingin memastikan kepatuhan pajak meningkat dengan cara yang praktis, melalui peran aktif marketplace,” tambah Rosmauli.
Bukan Pajak Baru, Hanya Mekanisme Baru
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani pelaku usaha dengan pajak baru. “Ini bukan pengenaan pajak baru, melainkan perubahan mekanisme pemungutan yang kini melibatkan platform digital,” jelas Fajry pada Rabu (25/6/2025). Ia menambahkan bahwa risiko ketidakpatuhan di sektor e-commerce cukup tinggi, sehingga langkah ini dianggap tepat.
Sistem pemungutan pajak oleh pihak ketiga bukanlah hal baru di Indonesia. Sebagai contoh, platform digital asing seperti penyedia layanan streaming telah ditunjuk untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), meskipun tidak memiliki kantor di Indonesia. Contoh lain adalah pemotongan PPh 21 oleh perusahaan atas gaji karyawan, yang terbukti efektif meningkatkan kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak.
“Ketika PPh 21 dipotong langsung oleh perusahaan, kepatuhan pajak karyawan jauh lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa mekanisme pemungutan oleh pihak ketiga bisa sangat efektif,” ungkap Fajry.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Kebijakan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kepatuhan pajak, tetapi juga memperkuat ekosistem ekonomi digital yang adil dan transparan. Dengan melibatkan marketplace sebagai pemungut pajak, pemerintah berupaya menciptakan sistem yang lebih efisien dan ramah bagi pelaku usaha, sekaligus memastikan kontribusi pajak yang optimal untuk pembangunan negara.
Meski demikian, tantangan ke depan tetap ada. Edukasi perpajakan bagi pelaku usaha kecil dan menengah perlu terus digalakkan agar mereka memahami pentingnya kewajiban pajak. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, platform marketplace, dan pelaku usaha menjadi kunci untuk menyukseskan kebijakan ini.
Dengan pertumbuhan e-commerce yang terus melaju, langkah strategis seperti ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara kemajuan ekonomi digital dan kepatuhan pajak, demi masa depan ekonomi Indonesia yang lebih kuat.
***Â