Lahir Tepat di Saniscara Kliwon Wuku Wayang? Begini Ramalan Sifat, Karir dan Asmara

ilustrasi bayi/bongbabyhousevn/balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM –
Begini ramalan kelahiran Saniscara Kliwon Wuku Wayang, atau lebih dikenal sebagai Tumpek Wayang dan sampai saat ini masih banyak yang merasa pensaran terkait sifat, karakter dan kehidupan yang lahir pada rahinan ini.
Hari suci ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga membawa makna mendalam, terutama bagi mereka yang lahir pada hari ini. Dalam artikel ini, kita akan menyelami makna kelahiran pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang, mitologi di baliknya, dan tradisi Sapuh Leger yang menjadi ritual wajib untuk menjaga keseimbangan spiritual.
Apa Itu Saniscara Kliwon Wuku Wayang?
Dalam kalender Bali, Saniscara Kliwon Wuku Wayang adalah hari suci yang jatuh setiap 210 hari sekali, atau sekitar enam bulan menurut perhitungan Pawukon, sistem penanggalan tradisional Bali. Hari ini terjadi saat tiga siklus waktu bertemu: Saniscara (Sabtu, hari terakhir dalam Saptawara), Kliwon (hari terakhir dalam Pancawara), dan Wuku Wayang (wuku ke-27 dari 30 wuku dalam siklus Pawukon). Pertemuan ini menjadikan Tumpek Wayang sebagai momen transisi yang dianggap sangat sakral, bahkan “tenget” (keramat) oleh masyarakat Hindu Bali.
Tumpek Wayang bukan hanya hari untuk memuja Sang Hyang Iswara, dewa pelindung seni dan kesenian, tetapi juga memiliki makna khusus bagi mereka yang lahir pada hari ini. Dalam kepercayaan Hindu Bali, anak yang lahir pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang dianggap membawa energi spiritual yang kuat, namun juga rentan terhadap pengaruh negatif, terutama dari Bhatara Kala, dewa waktu yang dikisahkan sebagai penguasa nasib.
Mitologi di Balik Tumpek Wayang
Untuk memahami makna kelahiran pada hari ini, kita perlu menyelami mitologi Bali yang terdokumentasi dalam lontar kuno seperti Kala Tattwa dan Kala Purana. Cerita ini berpusat pada Bhatara Kala dan Rare Kumara, dua putra dari Bhatara Siwa yang lahir pada Wuku Wayang.
Konon, Bhatara Kala lahir dari hubungan yang tidak wajar antara Bhatara Siwa dan Dewi Uma di atas Samudra. Karena birahi yang tak tertahankan, kama (cairan suci) Siwa menetes ke laut, membentuk buih telur yang menetas menjadi raksasa Kala.
Setelah dewasa, Kala mengetahui bahwa ia dan adiknya, Rare Kumara, lahir pada hari yang sama, yaitu Saniscara Kliwon Wuku Wayang. Merasa iri, Kala meminta izin kepada Siwa untuk memakan Rare Kumara. Siwa memberikan syarat bahwa Kala hanya boleh memakan mereka yang lahir pada Tumpek Wayang atau yang berkeliaran saat tengah hari pada hari tersebut.
Dalam pelariannya, Rare Kumara bersembunyi di balik alat musik gender saat pertunjukan wayang. Kala, yang kelaparan, memakan sesajen yang dihaturkan untuk pertunjukan tersebut. Sang Dalang, dengan keberanian dan kebijaksanaan, menegur Kala dan memintanya untuk tidak mengganggu Rare Kumara sebagai imbalan atas sesajen yang telah dimakan. Kala menyetujui, dan dari sinilah tradisi Sapuh Leger lahir, sebuah ritual pembersihan spiritual untuk melindungi anak-anak yang lahir pada Wuku Wayang dari pengaruh buruk Kala.
Makna Kelahiran pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang
Menurut kepercayaan Hindu Bali, anak yang lahir pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang dianggap sukerta, yaitu memiliki potensi spiritual yang besar tetapi juga rentan terhadap gangguan energi negatif. Dalam lontar Kala Tattwa, mereka disebut sebagai “tetadahan Bhatara Kala,” yang berarti menjadi sasaran pengaruh Kala jika tidak diupacarai dengan benar. Orang-orang yang lahir pada hari ini diyakini memiliki karakter unik, seperti keras kepala, berani, atau cenderung eksentrik, namun juga bisa menghadapi tantangan emosional atau spiritual yang lebih berat.
Untuk menetralkan potensi negatif ini, ritual Sapuh Leger menjadi wajib. Istilah “sapuh” berarti membersihkan, dan “leger” merujuk pada mala atau kotoran spiritual. Ritual ini bertujuan untuk memurnikan jiwa dan raga anak agar terhindar dari gangguan Kala, sekaligus memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Hyang Iswara.
Tradisi Sapuh Leger: Ritual Pembersihan yang Penuh Makna
Ritual Sapuh Leger adalah inti dari perayaan Tumpek Wayang bagi mereka yang lahir pada hari ini. Ritual ini biasanya melibatkan pementasan wayang kulit dengan lakon khusus yang menceritakan kisah Rare Kumara dan Bhatara Kala. Selain itu, air suci (tirta) yang telah diberkati digunakan untuk melukat, yaitu proses pembersihan spiritual. Sesajen seperti banten suci, peras, ajuman, canang raka, hingga daging itik putih disiapkan sebagai wujud syukur dan permohonan perlindungan.
Sehari sebelum Tumpek Wayang, yang disebut Sukra Wuku Wayang atau Ala Paksa, masyarakat Bali memasang sesuwuk—potongan pandan berduri—di pelinggih (tempat suci) atau pintu rumah. Ini bertujuan untuk menangkal energi negatif yang diyakini turun ke bumi. Keesokan harinya, sesuwuk dikumpulkan dan diletakkan di halaman rumah bersama sesajen lain, melambangkan penyaringan kekuatan negatif dan penguatan dharma.
Ritual ini tidak hanya tentang pembersihan, tetapi juga tentang harmoni. Tumpek Wayang menjadi momen untuk introspeksi, memperbaiki diri, dan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual. Bagi seniman, khususnya dalang, hari ini adalah waktu untuk memuja Sang Hyang Ringgit, dewa pelindung seni wayang, agar pertunjukan mereka selalu membawa keindahan dan pencerahan.
Mengapa Tumpek Wayang Penting untuk Seni dan Spiritualitas?
Selain aspek perlindungan spiritual, Tumpek Wayang juga dikenal sebagai “hari kesenian” di Bali. Hari ini adalah waktu untuk menghormati alat-alat seni seperti wayang, gamelan, gong, dan gender, yang dianggap memiliki taksu (kekuatan spiritual). Dalam lontar Siwa Gama, disebutkan bahwa Sang Hyang Iswara dipuja sebagai sumber inspirasi seni yang menerangi kegelapan duniawi. Oleh karena itu, para seniman Bali mempersembahkan sesajen seperti tumpeng guru, prayascita, dan penyeneng untuk memohon kelancaran dan keberkahan dalam berkarya.
Tradisi ini mencerminkan keseimbangan antara seni dan spiritualitas, yang menjadi ciri khas budaya Bali. Wayang kulit, sebagai seni teater total, tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan nilai-nilai filsafat, humor, dan kritik sosial. Melalui peran dalang, pesan-pesan kehidupan disampaikan dengan cara yang memikat, membuat Tumpek Wayang relevan hingga kini sebagai warisan budaya yang hidup.
Tumpek Wayang di Era Modern
Di tengah modernisasi, Tumpek Wayang tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya Bali. Ritual Sapuh Leger terus dilakukan, terutama oleh keluarga yang memiliki anak lahir pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang. Banyak yang melaporkan perubahan positif pada anak setelah ritual ini, seperti perbaikan sikap atau kesehatan, meskipun ini bergantung pada keyakinan masing-masing individu.
Pemerintah Bali juga mendukung pelestarian tradisi ini melalui regulasi seperti Instruksi Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2022, yang menegaskan Tumpek Wayang sebagai bagian dari tata cara kehidupan masyarakat Bali untuk menjaga harmoni alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa Tumpek Wayang bukan sekadar ritual, tetapi juga cerminan nilai budaya yang mengakar kuat.
Penutup
Saniscara Kliwon Wuku Wayang, atau Tumpek Wayang, adalah lebih dari sekadar hari suci. Ini adalah perayaan yang menggabungkan mitologi, seni, dan spiritualitas untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan.
Bagi mereka yang lahir pada hari ini, ritual Sapuh Leger menjadi jembatan untuk menetralkan energi negatif dan memperkuat hubungan dengan Sang Hyang Widhi. Bagi seniman, ini adalah momen untuk menghormati taksu seni yang menerangi dunia. Dan bagi masyarakat Bali secara umum, Tumpek Wayang adalah pengingat akan pentingnya harmoni antara manusia, alam, dan waktu.
***
