BULELENG, BALIKONTEN.COM – Gelombang penolakan terhadap rencana eksekusi dua terpidana kasus penodaan agama saat Hari Raya Nyepi 2023 terus berlanjut. Sejumlah warga Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, memasang baliho di beberapa titik strategis sebagai bentuk protes terhadap langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng. Dua terpidana yang dijadwalkan untuk dieksekusi adalah Acmat Saini (52) dan Mokhamad Rasad (57).
Baliho-baliho tersebut dipasang di sejumlah lokasi, termasuk jalan menuju Pura Segara Rupek serta fasilitas umum lainnya di desa tersebut. Isinya mencerminkan sikap warga yang menolak eksekusi, dengan alasan menjaga harmonisasi sosial yang telah terjalin di lingkungan mereka. Bahkan, beberapa baliho mengatasnamakan tokoh masyarakat setempat yang menyerukan agar eksekusi dibatalkan demi ketenangan desa.
[irp posts=”11410″ ]
Kejari Buleleng Beri Panggilan Ketiga
Kejari Buleleng telah melayangkan panggilan eksekusi ketiga kepada kedua terpidana. Dalam surat tertanggal 21 Februari 2025, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Buleleng, I Gede Eka Sumahendra, meminta Acmat Saini dan Mokhamad Rasad untuk datang ke kantor kejaksaan pada Kamis (27/2) guna menjalani eksekusi. Namun, hingga batas waktu yang ditetapkan, keduanya tak kunjung memenuhi panggilan tersebut.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Buleleng, I Dewa Gede Baskara Aryasa, menegaskan bahwa pihak kejaksaan tetap berpegang pada putusan hukum yang telah berkekuatan tetap. Meskipun memahami keberatan warga, Kejari Buleleng memastikan bahwa eksekusi akan tetap dilakukan.
[irp]
“Kami menghormati sikap masyarakat, tetapi hukum harus tetap ditegakkan. Jika terpidana tidak memenuhi panggilan, tidak menutup kemungkinan akan dilakukan upaya jemput paksa,” tegas Baskara, Senin (3/3).
Namun, sebelum langkah tersebut diambil, ia berharap kedua terpidana dapat menyerahkan diri secara sukarela ke kejaksaan. “Akan lebih baik jika mereka datang sendiri dengan kesadaran penuh,” tambahnya.
Kuasa Hukum Tunggu Salinan Putusan MA
Di sisi lain, Kuasa Hukum Acmat Saini dan Mokhamad Rasad, Agus Samijaya, menyebut pihaknya masih menunggu salinan lengkap putusan Mahkamah Agung (MA) RI. Hingga kini, mereka baru menerima petikan putusan, tanpa mengetahui secara rinci pertimbangan hukum yang menyebabkan kasasi ditolak.
“Kami masih menunggu salinan resmi dari MA. Hal ini penting sebagai dasar penyusunan memori Peninjauan Kembali (PK) jika langkah hukum lebih lanjut akan ditempuh,” jelas Agus Samijaya.
[irp]
Warga Sampaikan Surat Penolakan ke Kejari
Penolakan eksekusi ini bukan kali pertama disuarakan warga Desa Sumberklampok. Sebelumnya, pada 21 Januari 2025, perwakilan warga yang dipimpin oleh Perbekel Desa Sumberklampok, I Wayan Sawitra Yasa, telah mendatangi Kantor Kejari Buleleng untuk menyerahkan surat resmi yang berisi penolakan eksekusi.
Sebagai informasi, Acmat Saini dan Mokhamad Rasad sebelumnya divonis bersalah dalam kasus penodaan agama saat Hari Raya Nyepi 2023 dan dijatuhi hukuman empat bulan penjara. Putusan tersebut berlaku setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari jaksa dan terdakwa. Kini, dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, Kejari Buleleng bersiap untuk melaksanakan eksekusi, meski mendapat penolakan dari warga setempat.
Tanggapan Ketua Tim Hukum PHDi Provinsi Bali
Tim hukum mendukung sikap Kejati Singaraja melaksanakan eksekusi paksa jika pemanggilan kedua tidak dipenuhi kedua terpidana.
“Kalau sampai penolakan ini dikabulkan, akan jadi contoh, semua orang yang dihukum pidana menolak. Sehingga penegakan hukum di atur oleh kelompok, ada kesan negara kalah oleh orang-orang yang melawan hukum,” harus tegak putusan pengedanlina yang berkekuatan hukum tetap,” kata Ketua Tim Hukum PHDi Provinsi Bali Putu Wirata Dwikora dikonfirmasi Rabu, 5 Maret 2025 didampingi Sekretaris Wayan Sukayasa di Denpasar.
[irp]
Lebih lanjut disampaikan bahwa penolakan ini termasuk melawan hukum, bisa termasuk merintangi eksekusi, intefenai, bahkan bisa dipidana. Terpidana yang tidak taat kepada eksekusi bahkan bisa dikenakan pidana baru atau contem oncord melecehkan pengadilan.
***