Banyu Pinaruh dan Purnama Ketiga: Merayakan Kesucian Jiwa di Bali
ilustrasi gambar banten/ balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Umat Hindu hari ini melaksanakan Banyu Pinaruh dengan penuh suka cita dan kekhidmatan. Ritual suci ini, yang diperingati sehari setelah Hari Saraswati, menjadi momen istimewa untuk menyucikan diri secara lahir dan batin.
Pada tahun 2025, tepatnya pada Minggu, 7 September, Banyu Pinaruh bersamaan dengan Purnama Ketiga atau Redite Paing Wuku Shinta, menciptakan harmoni spiritual yang begitu kuat.
Perpaduan ini menghadirkan energi positif yang mendalam, mengundang umat untuk merenung dan memperkuat ikatan dengan alam serta Sang Pencipta.
Kekuatan Spiritual Banyu Pinaruh di Purnama
Menurut Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Geria Agung Sukawati, Gianyar, ketika Banyu Pinaruh bertepatan dengan Purnama, energi suci yang disebut nugraha memancar dengan luar biasa. “Ini adalah waktu terbaik untuk mencapai kesidhian, yaitu keseimbangan lahir dan batin yang membawa keberkahan dalam hidup,” ungkapnya. Dengan kesadaran dan keikhlasan, umat dapat meraih kerti-yusa-bala-yasa—kehidupan yang harmonis, seimbang, dan penuh makna.
Namun, menjalani ritual ini tidak sekadar soal tradisi. Ida Sulinggih menekankan pentingnya menjauhi tri mala, yaitu tiga sifat buruk: moha (kebingungan), mada (kesombongan), dan kasmala (kotoran batin) yang lahir dari nafsu tak terkendali. Umat juga diimbau untuk menghindari perilaku destruktif dan fokus pada praktik spiritual seperti brata, tapa, yoga, dan samadhi untuk mencapai kesucian jiwa.
Untuk mendukung ritual Banyu Pinaruh, persembahan sederhana namun penuh makna seperti banten pejati dan sesayut prayascita digunakan untuk menyucikan pikiran sadar dan bawah sadar. Selain itu, sesayut sidapurna dipersembahkan untuk meraih kehidupan yang sempurna. “Yang terpenting adalah sodaan dan canang sari. Meski sederhana, keduanya mencerminkan fleksibilitas ajaran Hindu Bali,” jelas Ida Sulinggih.
Makna Purnama dalam Tradisi Hindu Bali
Purnama, yang terjadi setiap 30 hari atau 15 hari setelah Tilem, adalah hari suci yang sarat makna. Dalam lontar Sundarigama, Purnama disebut sebagai sukla paksa, waktu ketika Sang Hyang Candra (Bulan) beryoga. Berikut kutipan lontar tersebut:
Mwah hana pareresiknira sang hyang rwa bhineda, makadi sang hyang surya candra, yatika nengken purnama mwang tilem, ring purnama sang hyang ulan mayoga, yan ring tilem sang hyang surya mayoga.
Terjemahan: Hari penyucian diri dilakukan untuk Dewa Matahari dan Dewa Bulan, yang disebut Sang Hyang Rwa Bhineda. Saat Purnama, Sang Hyang Candra beryoga, sedangkan saat Tilem, Sang Hyang Surya beryoga.
Purnama adalah momen untuk menyucikan diri secara fisik dan batin. Lontar Sundarigama juga menyebutkan:
Samana ika sang purohita, tkeng janma pada sakawanganya, wnang mahening ajnana, aturakna wangi-wangi, canang nyasa maring sarwa dewa, pamalakunya, ring sanggat parhyangan, laju matirta gocara, puspa wangi.
Terjemahan: Semua orang wajib menyucikan diri dengan mempersembahkan canang wangi-wangi dan canang yasa kepada para dewa, dilakukan di sanggah atau parhyangan, lalu memohon tirta suci.
Jenis Purnama dan Makna Khususnya
Setiap Purnama memiliki makna dan tujuan pemujaan yang berbeda, memperkaya tradisi spiritual Hindu Bali:
Purnama Kapat: Didedikasikan untuk Bhatara Parameswara sebagai Sang Hyang Purusangkara, bersama Dewa, Widyadara-Widyadari, dan Rsi Gana. Pada Tilem Kapat, fokusnya adalah penyucian batin untuk Widyadara-Widyadari.
-
Purnama Kedasa: Berpusat pada pemujaan Sang Hyang Sunya Amerta di Sad Kahyangan Wisesa, dengan piodalan Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih sebagai sorotan utama.
Purnama Sadha: Waktu untuk memuja Bhatara Kawitan di Sanggah Kemulan, mempererat hubungan spiritual dengan leluhur.
Banten: Simbol Kesucian dan Kesederhanaan
Dalam ritual Purnama, banten segehan sering digunakan untuk bhuta yadnya sederhana, dipersembahkan kepada Bhuta Bucari, Kala Bhucari, dan Durga Bhucari di lingkungan rumah. Persembahan ini biasanya dilakukan pada hari-hari suci seperti Kliwon, Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, Saraswati, atau Pagerwesi. Banten segehan mencerminkan keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual.
Menyucikan Jiwa untuk Hidup yang Bermakna
Banyu Pinaruh dan Purnama Ketiga bukan sekadar ritual, melainkan panggilan untuk menjaga kesucian hati dan pikiran. Dengan mempraktikkan tri kaya parisudha—pikiran, perkataan, dan perbuatan yang suci—serta menjauhi tri mala, umat Hindu diajak untuk hidup selaras dengan alam dan Tuhan. Momen ini mengingatkan kita untuk merenung, menyucikan diri, dan memperkuat ikatan spiritual.
Melalui Banyu Pinaruh dan Purnama, umat Hindu Bali tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Ritual ini menjadi pengingat bahwa keberkahan sejati lahir dari harmoni batin, hubungan dengan leluhur, dan penghormatan terhadap alam semesta.
***