Bolehkah Sulinggi Hamil Lagi? Pertanyakan yang Sering Muncul, Begini Penjelasan Menurut Lontar

Ilustrasi sulinggih/ balikonten
Pertanyaan “bolehkah seorang sulinggi hamil” terdengar ganjil di telinga awam. Namun, isu ini menyentuh inti kesucian spiritual seorang sulinggi dalam agama Hindu Bali. Sulinggi merujuk pada pendeta yang telah melalui ritual madiksa, proses kelahiran kembali sebagai duwi atau putra Sang Hyang Paramasiwa.
Setelah madiksa, sulinggi meninggalkan segala ikatan duniawi. Ia mendedikasikan hidup sepenuhnya untuk dharma dan pelayanan spiritual. Lontar Wiku Sasana menyatakan tegas:
“Ya wiku mangkana, tan wengis ring grhesta karma.” Artinya, seorang wiku—termasuk sulinggi—harus menjauhi urusan rumah tangga. Ia wajib menghindari nafsu, amarah, dan keserakahan. Kesucian mencakup perbuatan, perkataan, serta pikiran.
Dwijati Tattwa memperkuat aturan ini. Teks suci itu menegaskan: “Wiku tan dadi suami, tan dadi istri, nanging dadi putra Sang Hyang Paramasiwa ring Prabhavadiksa.” Sulinggi bukan lagi suami atau istri. Ia menjadi perwujudan kesucian mutlak.
Kehamilan atau menghamili bagi sulinggi berarti pelanggaran berat. Ini bukan sekadar dosa moral, melainkan tulah ring diksa—pencemaran sumpah kesucian spiritual yang telah diucapkan. Pelanggaran semacam itu merusak integritas sulinggi sebagai panutan umat.
Pesan ini mengajak umat Hindu merenungkan sujati sejati. Sulinggi mengajarkan tapa brata tanpa pamrih, kesucian tanpa pamer, serta bakti tanpa batas. Tradisi ini menjaga kemurnian dharma Hindu Bali agar tetap menjadi teladan spiritual bagi generasi mendatang.
Dalam konteks pelestarian budaya Bali, pemahaman tentang sulinggi dan madiksa menjadi kunci. Umat perlu menjunjung tinggi aturan lontar agar kesucian spiritual tidak ternoda. Ini memperkaya warisan Hindu Dharma di tengah arus modernisasi.
***
