Filosofi Menyama Braya di Balik Banjir Hebat di Bali
Pimpinan Redaksi media online Balikonten.com, I Putu Wira Dana
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – MASYRAKAT Bali memiliki konsep sosial yang disebut Menyama Braya, yang merupakan bagian dari Tri Hita Karana yakni menjaga hubungan terhadap sesama. Filosofi ini sangat terang terlihat saat banjir hebat yang terjadi hampir menyeluruh di Bali, terutama di Denpasar, pada 10 September 2025.
Pimpinan Redaksi media online Balikonten.com, I Putu Wira Dana melihat peristiwa ini sekaligus membuka lembaran kisah kemanusiaan yang menghangatkan hati. Di tengah duka dan kepanikan, semangat menyama braya terlihat tidak saja sesame orang Bali. Namun lintas daerah, agama maupun kebudayaan.
Menyama Braya adalah wujud nyata dari kepedulian tulus terhadap sesama, yang seolah mengingatkan kita bahwa tidak ada satu pun individu yang menghadapi kesulitan sendirian.
Secara harfiah, Menyama Braya berarti ‘menjadikan seperti saudara’. Ini bukan hanya tentang hubungan darah, melainkan tentang pengakuan bahwa setiap orang adalah bagian dari keluarga besar yang sama.
Bencana banjir di Denpasar menjadi panggung bagi kearifan lokal ini untuk diaktualisasikan. Kita melihat bagaimana tetangga-tetangga yang sebelumnya mungkin hanya bertegur sapa, kini bahu-membahu membersihkan lumpur di rumah-rumah yang terendam. Tanpa perlu perintah, mereka datang dengan sukarela, membawa alat seadanya untuk membantu memulihkan keadaan.
Aksi ini tidak hanya terbatas pada warga lokal Bali. Semangat menyama braya juga merangkul semua orang yang tinggal dan mencari penghidupan di Pulau Dewata. Warga pendatang, baik dari Jawa, Sumatera, atau daerah lain, turut serta dalam gotong royong.
Mereka tidak merasa sebagai ‘orang luar’, melainkan sebagai bagian dari satu kesatuan masyarakat yang terdampak.
Mereka membantu mengangkat perabotan yang basah, mengeringkan dokumen penting, atau sekadar menawarkan makanan dan minuman kepada para korban. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak mengenal batas suku, agama, atau asal daerah.
Tentu saja, peran pemerintah dan lembaga-lembaga sosial sangat krusial dalam penanganan bencana. Bantuan logistik, pendirian posko darurat, dan upaya evakuasi adalah bagian dari respons terstruktur yang penting.
Namun, semangat menyama braya memberikan sentuhan personal yang tidak bisa digantikan. Ia adalah energi dari bawah, dari hati ke hati, yang membangun kembali mental korban yang runtuh. Bantuan sekecil apa pun, seperti sebotol air minum atau sekadar pelukan hangat, dapat menjadi obat bagi keputusasaan.
Maka, di balik kesibukan dan modernisasi Kota Denpasar, kearifan lokal seperti Menyama Braya tetap relevan dan memiliki kekuatan luar biasa. Ia adalah pengingat bahwa di tengah tantangan, kekayaan terbesar kita adalah persaudaraan.
Bencana banjir adalah ujian, dan masyarakat Denpasar telah menunjukkan bahwa dengan semangat Menyama Braya, mereka mampu melewatinya bersama, menjalin kembali tali persaudaraan yang mungkin sempat kendur, dan meneguhkan kembali makna sejati dari menjadi satu keluarga.
***