Kampus Wajib Lakukan Digitalisasi, APTISI Ingatkan Dosen Juga Harus Miliki Empat Literasi

 Kampus Wajib Lakukan Digitalisasi, APTISI Ingatkan Dosen Juga Harus Miliki Empat Literasi

Ketua APTISI Pusat Dr. M. Budi Djatmiko (tengah) foto bersama pejabat struktural ITB STIKOM Bali usai memberikan presentasi tentang tantangan perguruan tinggi di era Society 5.0.

Denpasar, .com – Konsep digitalisasi menjadi tantangan tersendiri menjaga eksistensi dan pengembangan kini dan masa depan. Tantangan yang kian kompleks itu membuat universitas harus mampu beradaptasi.

Pandangan itu disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pusat Dr. M. Budi Djatmiko, ketika mempresentasikan tantangan perguruan tinggi di era Society 5.0 di depan para pejabat Group di , Renon, Denpasar, (21/6).

Djatmiko memberi contoh lain di bidang perhotelan. Jaringan hotel internasional seperti JW Marriott, Hilton, Westin yang dibangun dangan biaya triliunan rupiah kini dikendalikan oleh marketplace Traveloka, Pegipegi, Mister Aladin dan Agoda yang mungkin hanya membutuhkan Rp 1 miliar untuk pengembangan sistem aplikasinya.

Tapi mereka kini justru menjadi pemilik ribuan hotel di seluruh dunia tanpa harus susah payah membangun hotel.

“Hasil penelitian Universitas Indonesia tahun 2016 menyebutkan hotel menerima tamu langsung hanya 4 persen. Sisahnya dipasok oleh marketplace tadi,” ujarnya.

Dia mengingatkan, kampus-kampus konvensional yang saat ini tegak berdiri megah juga akan mengalami nasib yang sama seperti hotel, dikendalikan oleh kampus online yang mengandalkan teknologi.

“Mereka cari mahasiswa, tinggal bagi hasil dengan kampus lama,” tukasnya.

Di Amerika Serikat, Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) sudah melakukan inovasi pembelajaran jarak jauh.

Para mahasiswa asing tidak perlu lagi datang ke Amerika.

“Saat ini 7 persen mahasiswa baru Harvard University tetap tinggal di negaranya, tidak perlu ke Amerika, begitu juga di MIT ada 10 persen mahasiswa baru tetap tinggal di negaranya,” kata Djatmiko.

Dia berpendapat, saat ini manusia berada di era Revolusi Industri IV atau R.IV. Tapi Perdana Menteri Shinzo Abe (26 2012 – 16 September 2020) menilai R.IV justru mendegradasi peran manusia dalam kemajuan teknologi.

BACA JUGA:  Lulus Program Kemendikbud, Tujuh Mahasiswa ITB Stikom Bali Ditugaskan Atasi Kesulitan Belajar

Karena itu Abe menelorkan konsep masyarakat baru yang dikenal dengan sebutan Society 5.0. Yakni sebuah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human centered) dengan berbasis pada kemajuan teknologi (technology based).

Terhadap kondisi itu, Djatmiko menilai dibutuhkan seorang perusak sistem lama, kita butuh seorang CDO atau Chief Disruption Officer. Yakni sosok yang mampu melakukan inovasi dan adaptasi dengan perubahan serta melabrak zona nyaman yang ada di kampus selama ini.

“Kampus harus segera membuat inovasi, ke depan dosen bukanlah segalanya karena mahasiswa bisa belajar di mana saja, kapan saja dengan berbagai sumber digital,” tegas Budi Djatmiko.

Menurut dia, kata kuncinya teletak pada kemampuan dosen untuk membuat dan mengkolaborasikan empat poin ini.

Pertama, literasi data, yaitu kemampuan untuk membaca, analisis dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital.

Kedua, literasi teknologi, yakni memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (cooding, artificial inteligence, machine learning, engineering principles, biotech).

Ketiga, literasi manusia, yaitu humanities, komunikasi dan desain. Keempat adalah pembelajaran sepanjang hayat. (Red)

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE

error: Content is protected !!