14/08/2025

Kisah Crazy Rich Jakarta Abad 19: Bingung Wariskan Harta Tanpa Keturunan

arti mimpi melihat emas

ilustrasi orang mimpi emas/ balikonten

DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Di era Batavia yang penuh warna, nama Jannus Theodorus Bik mencuat sebagai salah satu crazy rich Jakarta pada masanya. Pria asal Belanda ini bukan hanya dikenal karena kekayaannya yang melimpah, tetapi juga kebingungannya menentukan pewaris harta tanpa anak kandung. Kisahnya menarik perhatian, menggabungkan cerita kekayaan, kecerdasan finansial, dan warisan yang mengalir hingga generasi berikutnya.

Awal Perjalanan Jannus di Batavia

Jannus tiba di Batavia—kini Jakarta—pada awal 1810-an bersama kakaknya, Andrianus Johannes Bik. Berasal dari Belanda, ia merantau ke Hindia Belanda untuk mencari peruntungan. Awalnya, Jannus bekerja sebagai pelukis untuk pemerintah kolonial. Bakatnya begitu menonjol hingga ia menjadi tokoh penting di kalangan seniman. Bahkan, maestro lukis Indonesia, Raden Saleh, pernah berguru padanya.

Dari profesi pelukis, Jannus mulai mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Namun, ia bukan tipe yang menghamburkan uang. Dengan cerdas, ia mengelola keuangan dengan menginvestasikan pendapatannya ke aset tanah, sebuah langkah yang terbukti jitu.

Kekayaan dari Tanah dan Pernikahan

Menurut catatan Almanak van Nederlandsch-Indië (1900), Jannus memiliki lahan di berbagai wilayah strategis di Batavia, seperti Tanah Abang, Pondok Gede, Cilebut, Ciluar, hingga Cisarua. Lahan-lahan ini dimanfaatkan untuk perkebunan padi, kopi, dan teh, yang menjadi sumber pendapatan besar baginya.

Kekayaannya semakin bertambah setelah menikahi Wilhelmina Reynira Martens pada 1840-an. Wilhelmina adalah janda dari seorang pengusaha kaya, Van Riemswijk. Sayangnya, pernikahan ini tidak membuahkan keturunan, meninggalkan Jannus tanpa pewaris langsung.

Warisan untuk Keponakan

Menjelang akhir hidupnya di tahun 1870-an, Jannus dihadapkan pada dilema: kepada siapa hartanya akan diwariskan? Akhirnya, ia memilih dua keponakannya, Bruno dan Jan Martinus, anak dari adiknya, sebagai penerima warisan. Keduanya, yang saat itu berusia sekitar 30-an tahun, menerima aset yang luar biasa besar.

Warisan tersebut mencakup lahan seluas 17.500 bau (sekitar 14.000 hektare) di Cisarua. Bruno mengelola 9.000 bau, sementara Martinus mengurus sisanya. Di tangan mereka, lahan ini tidak hanya terjaga, tetapi juga berkembang pesat.

Bruno, Si Dermawan yang Dicintai

Bruno, salah satu pewaris, dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan dermawan. Menurut Bataviaasch Nieuwsblad (14 Juni 1930), ia mengelola lahan dengan pendekatan yang ramah terhadap petani lokal. Bruno tidak memaksakan aturan ketat, melainkan menjalin kerja sama yang saling menguntungkan. Ia juga menolak membuka lahan baru dengan merusak hutan secara besar-besaran.

Lebih dari itu, Bruno aktif dalam kegiatan sosial. Ia menyumbang untuk pembangunan rumah sakit dan masjid, sebuah tindakan yang membuatnya dihormati masyarakat lokal sebagai “orang Belanda yang baik hati.” Reputasinya sebagai filantropis menambah nilai positif pada pengelolaan warisan Jannus.

Akhir Kisah Warisan

Bruno dan Martinus mengelola tanah warisan selama hampir setengah abad. Bruno meninggal pada 31 Maret 1921, diikuti Martinus pada 15 Maret 1926, seperti dicatat dalam Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europeanen op Java (1935). Setelah kepergian mereka, lahan-lahan tersebut dikelola oleh keturunan mereka sebelum akhirnya dijual ke berbagai pihak.

Warisan yang Abadi

Kisah Jannus Theodorus Bik dan keponakannya menunjukkan bagaimana kekayaan tidak hanya diukur dari harta, tetapi juga dari cara pengelolaannya. Dengan kecerdasan finansial dan kepekaan sosial, warisan Jannus tidak hanya bertahan, tetapi juga meninggalkan jejak positif di masyarakat. Cerita ini menjadi pengingat bahwa harta, betapa pun besarnya, akan lebih bermakna jika dikelola dengan bijak dan bermanfaat bagi banyak orang.

***

 

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE

error: Content is protected !!