08/08/2025

Liburan di Bali Tak Hanya Kuta – Canggu, Coba ke Candi Tebing Tegallinggah Tapaki Jejak Pertapaan Kuno yang Terlupakan

Candi Tebing Tegallinggah

Candi Tebing Tegallinggah/ Google Maps/ Balikonten

GIANYAR, BALIKONTEN.COM –  Liburan di Bali tidak hanya bicara Canggu, Seminyak atau Kuta. Coba sesekali kalian mengarahkan pandangan menuju wilayah Gianyar tapi ini bukan soal Ubud.

Namanya Candi Tebing Tegallinggah, memang tidak sepopuler Tirta Empul atau Tegalalang Rice Terraces, objek wisata ini berada di Dusun Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali.

Situs ini berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, sebuah kawasan yang dikenal sebagai salah satu pusat penting warisan budaya dan sejarah di Bali.

DAS Pakerisan merupakan rumah bagi banyak tinggalan arkeologi seperti Candi Gunung Kawi, Pura Tirta Empul, dan Goa Gajah, yang semuanya menunjukkan peran penting wilayah ini dalam perkembangan spiritual dan budaya Bali kuno.

Pertama kali ditemukan pada tahun 1952 oleh Krijgsman, beliau merupakan seorang ahli purbakala berkebangsaan Belanda yang kala itu menjabat sebagai Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Bali.

Saat ditemukan, sebagian besar struktur masih tertimbun tanah dan belum banyak mendapatkan perhatian. Penelitian lanjutan baru dilakukan beberapa dekade kemudian seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya.

Kompleks ini terdiri atas dua candi tebing utama yang masing-masing memiliki tiga menara (meru), sebuah gerbang atau gapura dengan hiasan kala di ambangnya, serta beberapa ceruk meditasi di tebing.

Di sisi barat Sungai Pakerisan terdapat struktur utama, sedangkan di sisi timur ditemukan satu ceruk dengan tiga ruang kecil, yang kemungkinan digunakan sebagai tempat bertapa atau bermeditasi.

Ciri khas dari situs ini adalah struktur bangunannya yang dipahat langsung pada dinding tebing batu. Teknik ini mirip dengan yang ditemukan pada Candi Gunung Kawi di Tampaksiring, meskipun ukuran dan tingkat penyelesaiannya berbeda. Beberapa ceruk di Tegallinggah masih terlihat belum selesai dipahat, menunjukkan bahwa proyek ini ditinggalkan di tengah jalan.

Salah satu teori utama mengenai penghentian pembangunan Candi Tebing Tegallinggah adalah terjadinya bencana alam, khususnya gempa bumi. Hal tersebut diperkuat oleh temuan sejumlah bongkahan batu besar di tepi sungai yang terdiri dari sisa-sisa pahatan yang serupa dengan relief pada bagian candi yang masih berdiri. Bongkahan tersebut diyakini merupakan bagian dari struktur yang roboh akibat aktivitas seismik.

Walau tidak ada prasasti atau dokumen tertulis yang secara eksplisit menyebutkan waktu pembangunannya, para arkeolog memperkirakan bahwa Candi Tebing Tegallinggah berasal dari rentang waktu abad ke-10 hingga abad ke-14 Masehi.

Perkiraan ini didasarkan pada gaya arsitektur, teknik pahat, serta perbandingan dengan situs-situs lain di sepanjang DAS Pakerisan yang diketahui berasal dari masa Bali Kuno dan Bali Pertengahan.

Situs ini diyakini merupakan bagian dari kompleks pertapaan Hindu-Buddha yang berkembang pada masa itu. Ceruk-ceruk di dinding tebing menunjukkan fungsi meditasi atau semadi yang erat kaitannya dengan praktik tapa brata, suatu bentuk asketisme yang banyak dianut oleh pendeta atau resi pada masa itu.

Dalam konteks spiritual Hindu-Buddha, pertapaan di alam terbuka dekat sungai dianggap ideal karena menyimbolkan kesucian dan kedekatan dengan unsur alam.

Meskipun situs ini tidak sepopuler seperti situs lain di Bali, Candi Tebing Tegallinggah memiliki nilai penting dalam studi arkeologi dan sejarah Bali. Situs ini memberi gambaran tentang teknik pembangunan kuno yang rumit serta kehidupan spiritual masyarakat masa lalu.

Saat ini, upaya pelestarian dan dokumentasi terus dilakukan oleh pihak berwenang dan komunitas lokal untuk menjaga keberadaan situs ini dari ancaman kerusakan alam maupun aktivitas manusia.

Candi Tebing Tegallinggah merupakan saksi bisu dari warisan spiritual dan arsitektural Bali kuno. Keberadaannya memperkaya mozaik sejarah Bali, memperlihatkan bahwa bahkan situs yang belum selesai dibangun pun memiliki cerita dan nilai yang tak kalah penting dari monumen-monumen megah lainnya.

Dengan terus menggali, meneliti, dan merawat situs ini, kita turut menjaga dan menghormati warisan budaya yang telah ditinggalkan oleh leluhur.

***

 

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE

error: Content is protected !!