Memahami Hari Raya Pemacekan Agung: Tradisi Suci dan Larangan Memotong Rambut
ilustrasi gambar Rangda/ Flicker/ Balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Dalam tradisi Bali, Hari Raya Soma Pemacekan Agung merupakan bagian penting dari rangkaian perayaan Galungan dan Kuningan. Hari suci ini diperingati tepat lima hari setelah Galungan, jatuh pada Senin (Soma) Kliwon wuku Kuningan, mengikuti siklus kalender Bali yang berlangsung setiap 210 hari.
Menurut keterangan dalam Kalender Bali digital, saat Pemacekan Agung, umat Hindu memanjatkan puja kepada Sang Hyang Widi, khususnya dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara. Persembahyangan ini bertujuan memohon keselamatan dan perlindungan. Menjelang sore atau saat sandikala, masyarakat Bali melakukan upacara segehan—yakni persembahan kecil yang diletakkan di halaman rumah dan di pintu pekarangan—sebagai penghormatan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya, seraya memohon keselamatan.
Secara etimologis, istilah Pemacekan Agung berasal dari kata pemacekan yang berarti “penancapan” atau “penguatan”, dan agung yang berarti “besar” atau “mulia”. Dengan demikian, Hari Raya Pemacekan Agung dimaknai sebagai momentum menancapkan tekad untuk bangkit melakukan perbuatan luhur.
Makna spiritual Pemacekan Agung juga dijelaskan dalam Lontar Dharma Kahuripan, yang menyebutkan:
“Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma,”
yang berarti Pemacekan Agung adalah momen pemusatan diri untuk melakukan tapa atau pertapaan kepada Sanghyang Dharma.
Hal serupa dijabarkan dalam Lontar Sundarigama. Pada Senin Kliwon, umat disarankan untuk mempersembahkan segehan agung di depan pintu keluar rumah, lengkap dengan persembahan sambleh ayam semalulung—seekor ayam utuh—yang ditujukan kepada Bhuta Kala dan seluruh pengiringnya, agar mereka kembali ke alamnya dan membawa keselamatan.
Menariknya, menurut buku Wariga Krimping karya Made Purna, Suwidja BA, dan IB Mayun, Hari Raya Pemacekan Agung juga dianggap sebagai hari baik untuk menggelar upacara di desa atau pekarangan rumah. Namun, terdapat kepercayaan kuat yang berkembang di masyarakat: pada hari ini, umat dilarang keras memotong rambut atau mencukur gundul. Jika larangan ini dilanggar, dipercaya bisa menyebabkan gangguan seperti rabun mata hingga kerontokan rambut yang parah.
Lebih jauh, Hari Raya Pemacekan Agung diyakini sebagai momen yang mendukung berbagai aktivitas positif. Mulai dari menanam tanaman berbuah dan berumbi, membangun rumah, membayar kaul, berburu, menagih hutang, menyadap nira, hingga menyimpan hasil panen padi ke dalam lumbung.
Hari suci ini bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga refleksi untuk memperkuat niat dalam menjalani kehidupan dengan jalan yang mulia dan penuh kesadaran.
***