DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Di balik hiruk-pikuk Denpasar sebagai ibu kota Bali, tersimpan sebuah tradisi sakral yang terus dijaga kelestariannya sejak 1937: Tradisi Ngerebong.
Berpusat di Pura Agung Petilan, Desa Adat Kesiman, ritual ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali. Lebih dari sekadar upacara adat, Ngerebong adalah manifestasi harmoni antara manusia, alam, dan para Dewa.
Makna Ngerebong dan Waktu Pelaksanaannya
Ngerebong berasal dari bahasa Bali yang berarti “berkumpul”. Dalam konteks ritual, ia mengandung makna lebih dalam: saat para Dewa-Dewi diyakini turun berkumpul untuk menciptakan keseimbangan semesta.
Upacara ini digelar setiap enam bulan sekali menurut kalender Bali, tepatnya pada Redite Pon Wuku Medangsia, atau delapan hari setelah Hari Raya Kuningan.
Rangkaian Sakral yang Penuh Makna
Sejak pagi hari, kawasan Pura Petilan mulai dipadati umat. Aroma dupa, hiasan penjor, serta alunan gamelan menciptakan atmosfer magis. Sebelum upacara dimulai, para pecalang (petugas adat) menutup akses jalan sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian prosesi.
Upacara dibuka dengan persembahyangan di Pura Petilan, dilanjutkan dengan tajen atau adu ayam di wantilan sebagai simbol persembahan tabuh rah (darah suci). Kemudian, arak-arakan barong dan para umat yang memasuki keadaan trance (kerauhan) berjalan menuju Pura Pengerebongan.
I Gede Anom Ranuara, tokoh budaya Desa Kesiman, menjelaskan bahwa Ngerebong merupakan bentuk pangilen atau pemanggilan energi ilahi demi menciptakan keseimbangan dunia. Meski baru dipatenkan pada 1937, tradisi ini sudah berlangsung jauh sebelumnya dalam lingkup Puri Kesiman.
Simbol-Simbol Mistis: Keris, Ngurek, dan Kesurupan
Salah satu momen paling dramatis dalam ritual ini adalah ketika para pepateh yang mengalami kerauhan melakukan ngurek—menusukkan keris ke tubuh, bahkan ke mata, tanpa mengalami luka. Fenomena ini memperlihatkan keyakinan akan perlindungan supranatural yang menyertai mereka dalam kondisi trance.
Menurut hasil penelitian sejarah Pura oleh IHD (kini UNHI Denpasar) pada tahun 1979, Ngerebong tergolong sebagai upacara bhuta yadnya atau pacaruan. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan antara manusia, Tuhan, sesama, dan lingkungan alam melalui ritual sakral.
Prosesi Prasawia dan Pradaksina: Simbol Keseimbangan Jiwa
Setelah upacara penyucian di Pura Musen, semua pelawatan Barong dan Rangda serta para pengiringnya dibawa ke Pura Petilan. Di sinilah prosesi utama dimulai dengan ritual Nyanjan dan Nuwur, memohon kekuatan suci Bhatara-Bhatari agar meresap dalam diri para pengusung.
Saat trance melanda, para pelawatan Barong dan Rangda keluar dari Kori Agung dan mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali dengan arah prasawia (berlawanan arah jarum jam). Prosesi ini mencerminkan usaha untuk menetralkan Asuri Sampad, atau kecenderungan negatif seperti kemarahan, keserakahan, dan keegoisan.
Uniknya, setelah prosesi prasawia, dilakukan lagi pengelilingi wantilan dengan arah pradaksina (searah jarum jam), melambangkan perjalanan spiritual menuju alam kedewataan—Swah Loka. Tiga putaran ini disebut Maider Bhuwana, sebagai simbol dari transformasi diri menuju kesadaran ilahi.
Warisan Budaya yang Terus Mengakar
Tradisi Ngerebong bukan sekadar tontonan budaya atau objek wisata spiritual. Ia adalah warisan hidup yang mencerminkan falsafah Hindu Bali: Tri Hita Karana—harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam. Keunikan prosesi seperti keris ngurek, kesurupan, serta dua arah ritual yang memiliki makna filosofis mendalam, menjadikan Ngerebong sebagai kekayaan budaya tak ternilai dari Denpasar, Bali. ***