DENPASAR, KABARPORTAL.COM – Setelah merayakan Hari Saraswati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan, umat Hindu melanjutkan rangkaian upacara suci dengan Banyu Pinaruh. Perayaan ini berlanjut dengan Soma Ribek pada hari Senin, disusul Sabuh Mas pada Anggara Wage, Watugunung, hingga akhirnya tiba pada Hari Raya Pagerwesi yang jatuh setiap Buda (Rabu) Kliwon Wuku Sinta.
Dirayakan setiap 210 hari sekali, Pagerwesi memiliki makna mendalam dalam ajaran Hindu. Berdasarkan lontar Sundarigama, hari ini merupakan waktu khusus bagi umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Pramesti Guru atau Dewa Siwa yang didampingi oleh Dewata Nawasanga. Perayaan ini bertujuan untuk memohon perlindungan bagi seluruh makhluk hidup di alam semesta.
Makna Pagerwesi: Benteng Spiritual dan Perlindungan Diri
Secara harfiah, Pagerwesi berarti “pagar dari besi” yang melambangkan perlindungan kuat. Filosofi ini menggambarkan pentingnya membangun benteng spiritual dalam diri agar tetap teguh dalam menjalani dharma atau kebenaran hidup. Dengan berpegang pada ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, manusia diharapkan mampu menjaga dirinya dari pengaruh negatif dan tetap berjalan di jalan yang benar.
Sebagai bagian dari tradisi, umat Hindu menjalankan berbagai ritual dan persembahan selama Pagerwesi. Lontar Sundarigama menjelaskan bahwa pada hari ini, umat wajib mempersembahkan sesayut pageh urip serta melaksanakan prayascita atau penyucian diri. Selain itu, malam Pagerwesi juga menjadi waktu yang baik untuk melakukan yoga samadhi atau meditasi guna mencapai ketenangan batin dan keseimbangan spiritual.
Ritual Pagerwesi dan Penghormatan kepada Alam
Dalam upacara Pagerwesi, umat Hindu juga mempersembahkan sesajen kepada unsur panca maha butha—lima elemen penyusun alam semesta. Segehan lima warna dipersembahkan di area suci seperti natar sanggah sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan alam, disertai dengan segehan agung yang melambangkan keseimbangan energi semesta.
Pagerwesi Bertepatan dengan Purnama Kaulu: Momentum Penyucian Diri
Tahun ini, perayaan Pagerwesi bertepatan dengan Purnama Kaulu, bulan purnama kedelapan dalam kalender Bali. Berdasarkan lontar Sundarigama, Purnama merupakan saat payogan Sang Hyang Candra atau momen ketika Dewa Bulan melakukan tapa. Karena itu, umat Hindu dianjurkan untuk melakukan penyucian diri, baik secara lahir maupun batin.
Rangkaian ritual pada saat Purnama mencakup persembahan canang wangi-wangi dan canang yasa di Sanggah atau Parahyangan, serta permohonan air suci untuk membersihkan diri. Selain itu, momen Purnama juga dipercaya sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan dana punia atau sedekah sebagai bentuk kepedulian sosial dan penguatan spiritual.
Dana Punia: Berbagi dengan Ketulusan di Hari Pagerwesi
Dalam ajaran Hindu, dana punia atau sedekah merupakan perbuatan luhur yang dilakukan tanpa mengharapkan balasan. Sebagaimana tertuang dalam Bhagawad Gita XVII.25, amal yang diberikan dengan ketulusan akan mendatangkan berkah yang tak terhingga. Oleh karena itu, Pagerwesi dan Purnama Kaulu menjadi waktu yang istimewa bagi umat Hindu untuk memperkuat spiritualitas melalui berbagai kebaikan.
Menjaga Warisan Spiritualitas dan Keseimbangan Alam
Perayaan Pagerwesi yang bertepatan dengan Purnama Kaulu bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang mendalam. Dengan menjalankan pemujaan, meditasi, dan berbagi melalui dana punia, umat Hindu membangun benteng spiritual agar tetap teguh dalam menjalani kehidupan yang selaras dengan dharma.
Sebagai bagian dari warisan budaya dan kepercayaan Hindu, memahami dan menjalankan Pagerwesi dengan kesadaran penuh akan maknanya menjadi langkah penting untuk menjaga keseimbangan diri dan alam semesta. Dengan demikian, umat Hindu dapat terus memperkuat nilai-nilai spiritual dan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. ***