DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Palinggih Kamulan menjadi salah satu elemen sakral yang tak terpisahkan dari kehidupan Umat Hindu di Bali. Tempat suci ini bukan sekadar bangunan fisik, melainkan sarana pemujaan leluhur yang diyakini sebagai sumber asal-usul atau kamimitan. Keberadaannya bahkan terekam dalam berbagai lontar kuno, menegaskan peran vitalnya dalam tradisi spiritual Bali.
Letak dan Makna Palinggih Kamulan
Umumnya, Palinggih Kamulan didirikan di utama mandala atau uluning pekarangan rumah, berbagi areal dengan Palinggih Surya dan Palinggih Taksu. Posisi ini mencerminkan kesucian dan keagungan tempat ibadah yang menjadi jembatan antara manusia, leluhur, dan Sang Hyang Triatma.
Dosen Filsafat Hindu dari STAHN Mpu Kuturan Singaraja, I Made Gami Sandi Untara, menjelaskan bahwa Palinggih Kamulan merupakan konsep warisan Mpu Kuturan. Tokoh ini berjasa menyatukan sekte-sekte Hindu pada masa pemerintahan Raja Airlangga di Jawa, menciptakan fondasi spiritual yang kuat hingga kini.
Pemujaan Sang Hyang Triatma
Palinggih Kamulan tak lepas dari pemujaan Sang Hyang Triatma, yang terdiri dari Paratma, Siwatma, dan Atma. Dalam Lontar Usana Dewa, Lembar 4, disebutkan:
“Ring Kamulan tengen Bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan kiwa Ibu ngaran sang Siwatma, ring Kamulan tengah ngaran Raganya, tu Brahma dadi meme bapa, meraga Sang Hyang Tuduh.”
Artinya, di Palinggih Kamulan, beliau bergelar Sang Hyang Atma. Ruang kanan melambangkan ayah, disebut Sang Hyang Paratma, sedangkan ruang kiri melambangkan ibu, yakni Sang Hyang Siwatma. Di tengah, menyatu sebagai Brahma, menjadi Purusa Pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh.
Lontar Gong Wesi turut memperkuat makna ini:
“Ngaran ira Sang Atma ring Kamulan tengen bapanta, nga, sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta, nga, sang Siwatma, ring Kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nunggalan raga.”
Secara sederhana, Sang Atma di ruang kanan adalah Bapak (Sang Paratma), di kiri adalah Ibu (Sang Siwatma), dan di tengah menyatu menjadi Sang Hyang Tunggal, simbol kesatuan wujud.
Filosofi Sang Hyang Triatma
Menurut Gami, Sang Hyang Triatma di Palinggih Kamulan terdiri dari tiga elemen:
-
Paratma, diidentikkan sebagai bapak atau Purusa, bertahta di ruang kanan.
-
Siwatma, melambangkan ibu atau Pradhana, berada di ruang kiri.
-
Atma, di tengah, diidentikkan sebagai Brahma, menyatukan Purusa dan Pradhana menjadi Sang Hyang Tuduh.
“Sang Hyang Triatma pada hakikatnya adalah Hyang Tunggal, pencipta manusia,” ujar Gami. Dalam pemujaan di Kawitan, umat Hindu kerap menyebut Sang Hyang Trimurti, Tripurusa, dan Trilingga, mencerminkan konsep kesatuan dan kehidupan dari atma sebagai sumber jiwa dan Siwatma sebagai wujud nyata di alam.
Pemujaan Leluhur dan Dewa Pitara
Lontar Purwa Bhumi Kamulan mengungkap bahwa Palinggih Kamulan tak hanya menjadi sthana Sang Hyang Triatma, tetapi juga roh leluhur yang telah disucikan melalui upacara Pitra Yadnya. Roh ini dikenal sebagai Dewa Pitara atau Siddhidewata. Disebutkan:
“Riwus mangkana daksina pangadegan Sang dewa pitara, tinuntun akena maring Palinggih Kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yang wadon unggahakena ring kiwa, irika mapisan lawan Dewa Hyangnya nguni.”
Artinya, roh suci atau daksina dituntun ke Palinggih Kamulan. Roh laki-laki ditempatkan di ruang kanan, sementara roh perempuan di sebelah kiri, menyatu dalam keagungan spiritual.
Warisan Spiritual Hindu Bali
Palinggih Kamulan bukan sekadar tempat suci, melainkan simbol penghormatan kepada leluhur dan Sang Hyang Triatma. Keberadaannya mencerminkan kearifan lokal Bali dalam menjaga harmoni antara manusia, alam, dan pencipta. Bagi Umat Hindu, pemujaan di Palinggih Kamulan menjadi jalan spiritual untuk menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan dalam satu kesatuan yang suci.
***