Ekonomi

Populasi Minim, Bibit Mahal, Peternak Babi di Bali “Terhimpit”

Denpasar, Balikonten.com – Populasi babi di Bali anjlok drastis hingga 90 persen pasca mewabahnya ASF atau demam babi Afrika setahun lalu. Populasi yang awalnya 1 juta ekor, kini hanya tersisa 90 ribu hingga 100 ribu ekor. Bahkan di Kota Denpasar populasinya terancam punah. Kondisi buruk lainnya, peternak tak mampu membeli bibit karena harga mahal.

Sebelumnya harga bibit Rp.600 ribu hingga Rp.800 ribu per 10 kilogram. Namun kini merangkak menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp.1,3 juta per 10 kilogram. Fakta itu diadukan Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (Gupbi) Bali, I Ketut Hari Suyasa kepada Ketua DPD Golkar Provinsi Bali, Dr. Nyoman Sugawa Korry pada Jumat (5/2) di Denpasar.

Terhadap kondisi itu, Sugawa menegaskan bahwa Golkar akan memperjuangkan solusi bagi peternak babi di Bali. Menurutnya, peternakan babi di Bali bukan semata urusan bisnis. Namun juga erat kaitannya dengan kebudayaan. Sebab babi dibutuhkan hampir di semua kegiatan adat dan agama Hindu di Bali.

Maka dari itu Sugawa menilai Pemerintah mesti serius memenuhi kebutuhan kualitas dan kuantitas daging babi di Bali. Ada tiga hal yang akan diperjuangkan. Pertama, agar pemerintah memberi subsidi untuk pengadaan kembali atau restoking bibit bagi peternak. Kedua, menjamin kesehatan babi di Bali.

Ketiga menegakkan Pergub Bali No. 33 Tahun 2005 tentang Penutupan Sementara Pemasukan Ternak Babi dan Produknya Dari Luar Pulau Bali. “Perbabian ini hal strategis. Menyangkut hidup orang banyak. Maka harus diberikan perhatian khusus,” ujarnya yang saat itu didampingi Sekjen, Dr. Nengah Dauh Wijana.

Sugawa menilai Pemprov Bali mampu mengatasi hal ini melalui program bantuan pertanian di APBD induk yang dianggarkan sebesar Rp.10 miliar. Menurutnya keberadaan peternak juga harus mendapat prioritas yang sama dengan sektor pertanian.

Hari mengaku sepakat atas tiga hal yang diwacanakan Golkar. Dia juga meminta agar pemerintah harus serius menutup akses penyelundupan daging babi dari luar Bali. “Itu yang kita minta. Selain perlindungan, kita minta restoking dan sosialisasi bio security yang dilakukan oleh peternak,” ujar Ketut.

Dia membenarkan bahwa perternakan babi di Bali saat ini menghadapi masalah yang kompleks. Peternak berada di posisi yang terjepit. Di tengah harga jual daging babi yang saat ini mahal, peternak babi di Bali justru krisis babi. Kondisi sekaligus membantah opini warga soal peternak babi dapat untung besar saat ini.

Menggambarkan situasi perternakan babi. Dia menerangkan di Jawa harga jual babi di atas Rp.58.000 per kilogram. Sedangkan harga jual babi di Bali kisaran Rp.45.000 per kilogram, dengan asumsi modal Rp.28.000. Dari hitung-hitungan itu, dia menilai ada kejanggalan terhadap kualitas babi yang masuk ke Bali.

“Secara ekonomi mungkin tidak masuk akal. Kenapa tidak dijual di Jawa. Artinya yang dikirim ke Bali itu tidak lebih dari sampah yaitu babi-babi di wilayah terdampak (ASF) yang kini mewabah di Jawa Tengah,” bebernya. Maka dia menduga penyelundupan daging babi ke Bali masih marak terjadi, salah satunya dari Lombok.

Menurutnya itu masalah besar bagi Bali. Sebab wilayah NTT dan NTB saat ini wilayah yang terdampak virus antraks. Bahkan pengiriman dari NTT dan NTB telah dilarang dalam Peraturan Gubenur Bali. Sebelumnya Ketut telah melakukan komunikasi kepada pihak terkait. Seperti pihak karantina hewan, kepolisian dan dinas terkait.

Dia menyebut masukannya diterima dengan baik. Namun dia belum melihat aksi nyata dalam mencegah aksi ilegal dalam bisnis babi. (801)

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE

Shares: