Tak Hanya Kajeng Kliwon, Tumpek Wayang Juga Dikeramatkan Wajib Mebayuh
Ilustrasi Wayang Bali/ Wikkipedia/ Balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Setiap enam bulan sekali, umat Hindu di Bali merayakan Tumpek Wayang, sebuah hari suci yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Wayang. Hari ini menjadi momen spesial untuk mempersembahkan puja kepada Sang Hyang Iswara, sekaligus mengusung makna spiritual yang kaya, terutama dalam penyucian benda seni seperti wayang, gong, gender, angklung, hingga kentongan.
Tumpek Wayang bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga dianggap sebagai hari keramat. Menurut tradisi dan lontar Kala Tattwa, anak yang lahir pada hari ini diyakini memiliki hubungan khusus dengan Bhuta Kala, sehingga memerlukan ritual peruwatan untuk penyucian. Untuk itu, banyak orang tua di masa lalu melarang anak-anak mereka keluar rumah sehari sebelumnya, tepatnya pada hari penyalukan atau kalapasa, guna menjaga keselamatan mereka.
Makna Spiritual Peruwatan
Tumpek Wayang memiliki peran penting sebagai waktu peruwatan, terutama bagi mereka yang lahir pada wuku Wayang, khususnya hari Sabtu. Salah satu tradisi yang menonjol adalah pementasan Wayang Sapuh Leger. Dalam bahasa Bali, sapuh berarti membersihkan, sedangkan leger merujuk pada mala atau unsur negatif dalam diri manusia. Wayang Sapuh Leger menjadi sarana spiritual untuk memurnikan seseorang dari pengaruh buruk yang dibawa sejak lahir pada wuku Wayang.
Wuku Wayang sendiri berlangsung selama tujuh hari, mulai dari hari Minggu hingga puncaknya pada hari Sabtu, yang dirayakan sebagai Tumpek Wayang. Hari ini menjadi momen refleksi spiritual bagi umat Hindu untuk memperkuat hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Ritual dan Persembahan
Pada hari suci ini, umat Hindu melaksanakan berbagai ritual keagamaan dengan sarana banten yang khas. Beberapa jenis banten yang umum digunakan meliputi Banten Pejati, Biakaon, Tebasan, Peras, Pengambean, dan Dapetan. Ritual ini biasanya diakhiri dengan persembahan segehan, yang terdiri dari caru berupa pandan wong (pandan berduri) dan segehan manca warna, simbol lima warna persembahan yang melambangkan keseimbangan alam.
Sehari sebelum Tumpek Wayang, tepatnya pada hari Jumat atau Sukra wuku Wayang, umat Hindu menggelar ritual Meseselat. Dalam ritual ini, mereka memasang seselat berupa pandan berduri atau tanaman berduri lainnya di tempat-tempat suci seperti Sanggah, pelinggih, penunggun karang, sumur, dan pelangkiran.
Tujuannya adalah untuk melindungi keluarga dari energi negatif. Pada hari Sabtu pagi, seselat yang telah dipasang dikumpulkan dan diletakkan di lebuh rumah sebagai bagian dari prosesi penyucian.
Filosofi dan Harapan
Tumpek Wayang bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga cerminan nilai spiritual umat Hindu di Bali. Perayaan ini menjadi sarana untuk memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sekaligus membersihkan diri dari unsur negatif secara niskala. Lewat ritual yang penuh makna, umat Hindu berharap dapat menjalani hidup dengan harmoni, terhindar dari pengaruh buruk, dan senantiasa berada dalam lindungan ilahi.
Dengan nuansa sakral dan tradisi yang kaya, Tumpek Wayang terus lestari sebagai warisan budaya Bali yang tak hanya memperkuat identitas spiritual, tetapi juga mempererat hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta.
***