Tilem Kedasa Bertepan dengan Rahina Ulihan, Begini Penjelasannya
ilutrasi umat Hindu sedang melakukan persembahyangan/ Balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Tilem Kedasa bukan sekadar perayaan rutin, melainkan puncak dari seluruh rangkaian Tilem yang terjadi setiap 30 hari, berjarak 15 hari dari Purnama. Bagi masyarakat Bali, Tilem adalah simbol bulan mati, sebuah hari keramat yang sarat makna spiritual dan menjadi waktu untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Tilem: Jembatan dari Gelap Menuju Terang
Menurut Lontar Sundarigama, Tilem adalah masa peralihan dari kegelapan menuju cahaya. Ini adalah saat di mana Dewa Surya, yang dipercaya sebagai manifestasi matahari, tengah melakukan payogan atau meditasi suci.
Momen ini menjadi waktu yang tepat untuk merenung, membersihkan diri, dan memperbarui energi batin. Dalam tradisi Bali, Tilem sering dijadikan kesempatan untuk melukat, sebuah ritual penyucian untuk menghapus dosa dan kotoran batin, sehingga seseorang dapat mencapai keseimbangan lahir dan batin.
Tak hanya itu, Tilem juga memiliki kaitan erat dengan kisah epik Panca Pandawa. Dalam cerita Mahabharata, para Pandawa meninggalkan perkemahan mereka untuk mencari penyucian diri, sebuah simbol dari perjalanan spiritual menuju kesucian. Kisah ini menginspirasi umat Hindu di Bali untuk memanfaatkan Tilem sebagai waktu refleksi dan pembersihan jiwa.
Ritual dan Makna Sesajen Tilem
Tilem bukan hanya tentang spiritualitas, tetapi juga tentang kehati-hatian. Hari ini dianggap sakral namun rawan, sehingga persembahan yang tepat menjadi bagian penting dalam ritual. Salah satu sesajen yang umum digunakan adalah sesayut widyadhari, yang melambangkan keahlian, pengetahuan, dan kepekaan spiritual. Tak ketinggalan, wangi-wangian seperti bunga dan dupa sering digunakan untuk menciptakan suasana suci selama persembahyangan, baik di sanggah (merajan keluarga) maupun di pura kahyangan jagat.
Persembahyangan pada Tilem Kedasa biasanya dilakukan dengan penuh khidmat, mengingat momen ini dianggap sebagai puncak dari semua Tilem. Umat Hindu Bali percaya bahwa melalui ritual ini, mereka dapat memperoleh keheningan pikiran, kesehatan jasmani, dan ketenangan batin.
Mengapa Tilem Kedasa Begitu Istimewa?
Sebagai puncak dari rangkaian Tilem, Tilem Kedasa memiliki energi spiritual yang kuat. Hari ini menjadi waktu ideal untuk melakukan panglukatan atau ritual penyucian, baik secara pribadi maupun komunal. Banyak yang memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki hubungan dengan alam, sesama, dan Tuhan. Dengan suasana yang penuh kedamaian, Tilem Kedasa mengajak setiap individu untuk menyelami makna hidup dan memperkuat ikatan dengan nilai-nilai luhur.
Bagi Anda yang ingin mendalami budaya Bali atau mencari pengalaman spiritual yang autentik, mengikuti ritual Tilem Kedasa bisa menjadi langkah awal. Momen ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga memberikan ketenangan yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern.
Optimalkan Pengalaman Spiritual Anda
Untuk merasakan esensi sejati dari Tilem Kedasa, datanglah ke Bali dan saksikan sendiri bagaimana masyarakat setempat menjalankan tradisi ini dengan penuh makna. Persiapkan diri Anda dengan pengetahuan tentang tata cara persembahyangan dan sesajen, agar pengalaman spiritual Anda semakin mendalam. Jangan lupa, momen seperti ini juga menjadi kesempatan untuk belajar tentang kearifan lokal Bali yang telah diwariskan turun-temurun.
Tilem Kedasa bukan sekadar perayaan, tetapi sebuah perjalanan menuju kedamaian batin dan transformasi diri. Mari rayakan kesucian ini dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih.
Tentang Rahina Ulihan
Dalam rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan, terdapat satu rahinan yang kerap luput dari perhatian masyarakat, yakni Rahinan Ulihan. Meski tidak sepopuler Galungan atau Kuningan, Ulihan memiliki makna spiritual yang sangat mendalam bagi umat Hindu di Bali.
Apa Itu Rahinan Ulihan?
Secara etimologis, kata Ulihan berasal dari kata “uli” yang berarti “kembali”. Dalam konteks keagamaan, Ulihan dipercaya sebagai hari kembalinya para Dewata ke Kahyangan setelah selama perayaan Galungan dan Kuningan turun ke dunia untuk memberikan berkah dan tuntunan kepada umat manusia.
Rahinan ini jatuh pada pertemuan antara Saptawara Redite atau Wage dengan Wuku Kuningan, yang secara tradisional menandai penutupan rangkaian suci Galungan-Kuningan.
Makna Spiritual di Balik Rahinan Ulihan
Dikutip dari buku Hari Raya Galungan karya Ni Made Sri Arwati, Ulihan bukan sekadar penanda akhir rangkaian Galungan. Lebih dari itu, Ulihan adalah momentum untuk mengucap syukur serta mendoakan keselamatan setelah umat Hindu melewati masa-masa spiritual yang penuh makna.
Pada hari ini, umat Hindu melaksanakan persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, sebagai bentuk penghormatan atas kehadiran para Dewata selama masa Galungan-Kuningan.
Banten yang Digunakan Saat Ulihan
Tradisi dan jenis banten Ulihan bisa berbeda-beda di tiap wilayah Bali, namun secara umum umat Hindu menggunakan canang raka dan soda sebagai sarana persembahan.
Banten tersebut dihaturkan di Sanggah Kemulan, tempat suci keluarga yang menjadi pusat aktivitas keagamaan rumah tangga. Tujuannya adalah untuk memohon perlindungan, keselamatan, serta keharmonisan lahir dan batin bagi seluruh anggota keluarga.
Kelanjutan Spiritualitas: Soma Pemacekan Agung
Usai perayaan Ulihan, keesokan harinya yakni Soma Kliwon Wuku Kuningan, umat Hindu kembali merayakan Soma Pemacekan Agung. Hari ini dipercaya sebagai saat yang tepat untuk melakukan introspeksi diri serta penyucian rohani, melanjutkan perjalanan spiritual yang telah dijalani selama rangkaian Galungan-Kuningan.
Meski tak selalu dirayakan secara besar-besaran, Rahinan Ulihan tetap memegang posisi penting dalam kalender keagamaan umat Hindu di Bali. Dengan memahami makna dan tata cara perayaannya, kita diajak untuk lebih menghargai nilai-nilai spiritual dalam setiap tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.
***