Pernah Dengar Tamiang Saat Rahinan Kuningan? Ini Fungsi dan Maknanya

Ilustrasi gambar banten/ Wikimedia Commons/ Balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Hari Raya Galungan dan Kuningan adalah dua perayaan utama dalam tradisi Hindu Bali yang kaya akan makna spiritual dan budaya. Galungan diperingati pada Budha Kliwon Wuku Dungulan, sementara Kuningan jatuh 10 hari kemudian pada Sabtu Kliwon Wuku Kuningan.
Kedua hari raya ini merupakan bagian dari rangkaian ritual yang mengajak umat Hindu Bali untuk bersyukur, memohon keselamatan, dan merenungkan nilai-nilai kehidupan. Meski saling berkaitan, perbedaan Galungan dan Kuningan terletak pada esensi filosofis, dewa yang dipuja, sarana upacara, dan tradisi pelaksanaannya.
Makna Galungan: Kemenangan Dharma atas Adharma
Galungan melambangkan kemenangan kebaikan (Dharma) atas kejahatan (Adharma). Perayaan ini mengenang kisah kemenangan Bhatara Siwa atas Mayadenawa, raja yang melarang umat memuja Tuhan. Simbol utama Galungan adalah penjor, tiang bambu melengkung yang dihias dengan janur, daun muda, serta hasil bumi seperti padi atau kelapa. Penjor mencerminkan Gunung Mahameru sebagai poros alam semesta, dengan hiasan yang melambangkan harmoni dan keseimbangan Tri Mandala (utama, madya, nista).
Sembahyang pada Galungan diarahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memohon kekuatan untuk menegakkan kebenaran. Umat mempersembahkan canang sari dan banten saji di sanggah keluarga, pura desa, serta pura kahyangan tiga. Tradisi seperti ngelawang dengan Barong juga dilakukan untuk menolak energi negatif dan mempererat kebersamaan komunitas.
Makna Kuningan: Kemakmuran dan Penghormatan Leluhur
Kuningan, atau dikenal sebagai Tumpek Kuningan, identik dengan warna kuning yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan. Dewa yang dipuja adalah Dewa Mahadewa, manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber kelimpahan.
Kuningan juga menjadi momen untuk menghaturkan persembahan kepada para leluhur (Pitara), memohon perlindungan, tuntunan spiritual, dan keberkahan dalam kehidupan. Jika Galungan menekankan perjuangan melawan keburukan, Kuningan berfokus pada rasa syukur atas berkah yang telah diterima serta persiapan untuk masa depan.
Perbedaan Sarana Upacara: Simbol Perlindungan dan Perbekalan
Meski keduanya menggunakan banten sebagai persembahan, sarana upacara Kuningan memiliki ciri khas yang membedakannya dari Galungan. Pada Kuningan, umat menggunakan beberapa sarana upacara khusus, antara lain:
- Tamiang: Berbentuk bulat dengan hiasan di pinggirnya, melambangkan tameng atau perisai untuk melindungi umat dari energi negatif.
- Endongan: Berupa kantong berisi nasi kuning, pisang, tebu, jajan tradisional, dan daun paku cemara, melambangkan bekal untuk para leluhur saat kembali ke Swarga Loka dan untuk umat dalam menjalani kehidupan.
- Ter: Berbentuk seperti panah, melambangkan senjata untuk melawan hawa nafsu dan tantangan hidup.
- Tebog: Mangkuk kecil berisi nasi kuning, kacang-kacangan, daun intaran, dan daging calon (daging khas Kuningan), melambangkan kemakmuran.
Sebaliknya, Galungan lebih menonjolkan penjor sebagai simbol kemenangan dan harmoni, dengan banten yang lebih sederhana seperti canang sari dan banten saji. Sarana Kuningan dihaturkan di sanggah keluarga, pura desa, atau tempat suci lainnya, dengan makna mendalam tentang perlindungan dan kesiapan hidup.
Batas Waktu Sembahyang: Tengah Hari sebagai Patokan
Perbedaan penting lainnya adalah aturan waktu sembahyang. Pada Kuningan, umat dianjurkan menyelesaikan persembahan dan sembahyang sebelum pukul 12.00 Wita. Menurut Lontar Sundarigama, tengah hari adalah saat Dewata dan Pitara kembali ke Swarga Loka.
Ada kepercayaan turun-temurun bahwa sembahyang setelah tengah hari dapat mengundang gangguan energi negatif, meskipun hal ini lebih bersifat tradisi lisan tanpa sumber tekstual yang pasti. Sebaliknya, Galungan tidak memiliki batasan waktu ketat, dengan sembahyang dilakukan dari pagi hingga sore sesuai kebutuhan masing-masing keluarga atau komunitas.
Tradisi Lokal Kuningan: Warna-warni Kemakmuran
Kuningan dirayakan dengan tradisi lokal yang memperkaya maknanya, berbeda dari Galungan yang lebih seragam dengan penjor dan sembahyang. Beberapa tradisi khas Kuningan meliputi:
- Ngelawang: Prosesi keliling desa dengan Barong dan Rangda untuk menetralisir energi negatif, sering melibatkan anak-anak dan pemuda sebagai hiburan komunal.
- Mekotek: Tradisi di Desa Munggu, Badung, menggunakan tongkat kayu panjang sebagai penolak bala dan doa untuk kemakmuran.
- Mesuryak: Di Desa Bongan, Tabanan, masyarakat menghamburkan uang ke udara sambil berteriak dalam suasana gembira untuk menyambut berkah.
- Tajen: Sabung ayam massal di Desa Klusa, Gianyar, sebagai ritual komunal yang mempererat solidaritas masyarakat.
Harmoni Galungan dan Kuningan
Galungan dan Kuningan adalah dua sisi dari siklus spiritual Hindu Bali yang saling melengkapi. Galungan merayakan kemenangan kebaikan, sementara Kuningan mensyukuri kemakmuran dan menghormati leluhur. Setelah upacara selesai, umat Hindu Bali biasanya memanfaatkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga, bersantai, atau jalan-jalan, sebagaimana tradisi pasca-Galungan. Memahami perbedaan Galungan dan Kuningan membantu kita mengapresiasi kekayaan budaya dan spiritual Bali yang tetap hidup hingga kini.
***
