Kota Madya: Dipisah atau Disambung? Mengungkap Fakta dan Maknanya
ilustrasi/ balikonten
DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Pernahkah Anda bingung menulis kota madya? Apakah seharusnya dipisah jadi kota madya atau disambung menjadi kotamadya? Pertanyaan ini mungkin terdengar sepele, tapi di dunia penulisan, terutama dalam jurnalistik, ketepatan ejaan bisa memengaruhi kredibilitas sebuah tulisan. Artikel ini akan mengupas tuntas soal ejaan kota madya, aturan resminya, dan sedikit cerita menarik di baliknya.
Asal-Usul Istilah Kota Madya
Sebelum masuk ke soal ejaan, mari kita pahami dulu apa itu kota madya. Dalam konteks Indonesia, kota madya merujuk pada status administratif sebuah kota di masa lalu, khususnya sebelum reformasi otonomi daerah pada 1999. Istilah ini digunakan untuk membedakan kota dengan otonomi terbatas (setara kabupaten) dari kota administratif yang lebih kecil cakupannya. Contohnya, Kota Madya Madiun atau Kota Madya Surabaya pada era Orde Baru.
Kata madya sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti “tengah” atau “menengah,” mengacu pada status kota yang berada di antara kota besar (metropolitan) dan kota administratif kecil. Istilah ini kini jarang digunakan dalam konteks administratif karena telah digantikan dengan istilah kota otonom sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Namun, kota madya tetap hidup dalam dokumen sejarah, media, dan percakapan sehari-hari.
Dipisah atau Disambung? Aturan Resminya
Sekarang, ke inti pertanyaan: kota madya atau kotamadya? Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata majemuk dalam bahasa Indonesia memiliki aturan jelas. Kata majemuk yang terdiri dari dua unsur atau lebih, yang bukan berupa frasa, ditulis serangkai (disambung). Contohnya: rumahsakit, mejabelajar, dan tentu saja, kotamadya.
Jadi, secara resmi, penulisan yang benar adalah kotamadya. Namun, mengapa masih banyak yang menulis kota madya? Ini bisa terjadi karena kebiasaan lama, pengaruh dialek daerah, atau sekadar ketidaktahuan tentang aturan PUEBI. Dalam beberapa dokumen resmi lama atau artikel berita, kota madya sering muncul sebagai frasa yang dipisah, terutama ketika merujuk pada nama resmi seperti “Kota Madya Madiun.” Namun, untuk penggunaan umum, PUEBI menegaskan bahwa kotamadya adalah bentuk yang benar.
Mengapa Ejaan Ini Penting di Jurnalistik?
Dalam dunia jurnalistik, ketepatan ejaan bukan sekadar soal tata bahasa, tapi juga soal profesionalisme. Media terpercaya seperti Kompas.com atau Tempo.co selalu berpegang pada standar PUEBI untuk menjaga kredibilitas. Misalnya, dalam artikel yang membahas perkembangan daerah, penulisan kotamadya yang konsisten menunjukkan bahwa media tersebut memperhatikan detail dan menghormati pedoman bahasa resmi.
Selain itu, ejaan yang benar juga penting untuk optimasi mesin pencari (SEO). Kata kunci seperti kotamadya atau kota madya sering dicari oleh pembaca yang ingin memahami istilah ini, terutama pelajar, peneliti, atau masyarakat umum yang penasaran dengan sejarah administratif Indonesia. Dengan menggunakan ejaan yang sesuai PUEBI, artikel jurnalistik akan lebih mudah ditemukan oleh mesin pencari seperti Google, sekaligus memberikan informasi yang akurat.
Cerita di Balik Kotamadya: Madiun sebagai Contoh
Untuk membuat pembahasan ini lebih menarik, mari kita lihat contoh nyata dari Kota Madiun, yang dulu berstatus kota madya. Menurut laman resmi Pemerintah Kota Madiun, status kota madya diberikan pada 1918, saat Madiun menjadi pusat perdagangan dan budaya di Jawa Timur. Kota ini bahkan mendapat julukan “Kota Pendekar” karena menjadi pusat perguruan pencak silat, seperti Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Tapak Suci.
Namun, dalam beberapa artikel di media seperti Kompas.com, penulisan Kota Madya Madiun masih sering muncul, terutama saat membahas sejarah kota ini. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks nama resmi, frasa kota madya kadang tetap dipisah untuk menjaga kekhasan historis. Meski begitu, untuk penulisan umum seperti dalam artikel berita atau laporan, kotamadya adalah pilihan yang lebih tepat sesuai standar bahasa.
Tips Menulis Kotamadya untuk Jurnalis dan Penulis
Bagi Anda yang menulis artikel, baik untuk media online, blog, atau karya akademik, berikut beberapa tips agar penulisan kotamadya:
Gunakan Ejaan Resmi: Selalu tulis kotamadya sesuai PUEBI, kecuali dalam konteks nama resmi seperti “Kota Madya Surabaya” yang bersifat historis.
Sisipkan Kata Kunci Relevan: Gunakan variasi kata kunci seperti kotamadya di Indonesia, sejarah kotamadya, atau kota madya vs kota otonom untuk menarik perhatian mesin pencari.
Berikan Konteks: Jelaskan sedikit tentang sejarah atau makna kotamadya agar pembaca awam bisa memahami tanpa merasa tulisan terlalu kaku.
Gunakan Bahasa Natural: Hindari pengulangan kata yang berlebihan. Misalnya, alih-alih terus menulis kotamadya, sesekali gunakan sinonim seperti “kota otonom” atau “pemerintah kota”.
-
Sumber Terpercaya: Selalu rujuk sumber terpercaya seperti PUEBI, laman resmi pemerintah, atau media ternama seperti Kompas.com dan Antaranews.com untuk mendukung argumen Anda.
Penutup: Kotamadya, Lebih dari Sekadar Ejaan
Meski sekilas hanya soal dipisah atau disambung, kotamadya menyimpan cerita menarik tentang sejarah tata kelola kota di Indonesia. Dari Madiun yang dijuluki Kota Pendekar hingga Surabaya yang pernah menjadi pusat perdagangan, istilah ini bukan hanya soal administrasi, tapi juga identitas budaya. Dengan menulis kotamadya sesuai aturan PUEBI, Anda tidak hanya menghormati kaidah bahasa, tapi juga membantu pembaca menemukan informasi yang akurat melalui mesin pencari.
Jadi, mulai sekarang, mari kita sepakat: kotamadya ditulis serangkai, kecuali dalam konteks historis tertentu. Dengan begitu, tulisan kita tetap profesional, mudah ditemukan, dan tentu saja, enak dibaca hingga akhir. Bagaimana menurut Anda, sudah siap menerapkan ejaan kotamadya dalam tulisan Anda berikutnya?
***