JAKARTA, BALIKONTEN.COM – Indonesia resmi bergabung sebagai anggota penuh kelompok ekonomi BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Pengumuman ini disampaikan oleh pemerintah Brasil pada Senin, 6 Januari 2025, menegaskan persetujuan seluruh anggota atas kehadiran Indonesia di blok tersebut.
“Indonesia berbagi komitmen dengan anggota BRICS lainnya untuk mendorong reformasi lembaga tata kelola global serta memperdalam kerja sama di Global South,” demikian pernyataan pemerintah Brasil yang dikutip dari Reuters.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyambut baik langkah ini, menyebutnya sebagai pencerminan peningkatan peran aktif Indonesia dalam isu global dan komitmen memperkuat kerja sama multilateral demi tatanan dunia yang inklusif dan berkeadilan.
“Keanggotaan ini merupakan langkah strategis untuk memperluas kolaborasi dengan negara-negara berkembang lain berdasarkan prinsip kesetaraan, penghormatan, dan pembangunan berkelanjutan,” tulis Kemlu dalam keterangan resminya, Selasa, 7 Januari 2025.
Sebagai bagian dari BRICS, Indonesia berjanji untuk berkontribusi aktif dalam berbagai agenda strategis, termasuk penguatan ekonomi, inovasi teknologi, pembangunan berkelanjutan, serta penanganan isu global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat.
Namun, langkah ini juga memicu perdebatan. Apakah bergabung dengan BRICS adalah jalan pintas bagi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen?
Peluang dari BRICS
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai keanggotaan Indonesia di BRICS membuka peluang besar, terutama dalam diversifikasi pasar. Saat ini, BRICS mencakup hampir sepertiga ekonomi dunia dengan proporsi yang terus meningkat, dari 15,66 persen pada 1990 menjadi 32 persen pada 2022.
“Ini memberi peluang bagi Indonesia untuk melepaskan ketergantungan dari pasar tradisional seperti AS dan Eropa, terutama mengingat hubungan dagang dengan Eropa sering menghadapi hambatan, seperti aturan EUDR yang menghalangi ekspor kelapa sawit,” jelas Huda.
Ia juga mencatat keberpihakan pemerintah terhadap komoditas strategis seperti kelapa sawit sejalan dengan niat Indonesia mencari pasar alternatif di kawasan Timur Tengah dan negara-negara berkembang lainnya.
Tantangan yang Mengadang
Meski demikian, Huda menilai keanggotaan BRICS tidak otomatis mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. “Target itu masih terlalu ambisius. Perekonomian Indonesia saat ini sangat bergantung pada konsumsi domestik, sementara ekspor belum cukup signifikan untuk mendorong pertumbuhan sebesar itu,” ungkapnya.
Selain itu, status baru ini berpotensi menimbulkan gesekan dengan kekuatan besar lainnya, seperti Amerika Serikat. Hubungan dagang antara negara-negara BRICS dan AS dikhawatirkan dapat terganggu, apalagi dengan kemungkinan kembalinya Donald Trump sebagai Presiden AS yang membawa agenda proteksionis.
Huda juga mengingatkan bahwa perang dagang antara AS dan China, dua negara dengan pengaruh besar di BRICS, masih menjadi ancaman nyata yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi global.
“Meski bergabung dengan BRICS merupakan langkah rasional, risiko tetap ada, terutama dari negara-negara Blok Barat dan anggota Organization of Economic Co-operation and Development (OECD),” pungkasnya.
Strategi Jangka Panjang
Keanggotaan di BRICS jelas memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisi di panggung global. Namun, manfaatnya baru akan terasa jika diiringi dengan strategi jangka panjang yang solid, termasuk diversifikasi ekonomi, peningkatan daya saing, dan penguatan sektor ekspor.
Hanya waktu yang dapat menjawab apakah langkah ini benar-benar menjadi pijakan strategis bagi Indonesia atau justru membawa tantangan baru yang harus dihadapi. ***