Ekonomi

Tarif Trump Dinilai Bisa Dorong Industri Pulang ke AS, Tapi Pakar Bilang Tidak Semudah Itu

Putu Ngurah Suyatna Yasa Pengamat Ekonomi Sebut Beberapa Faktor Penyebab Daya Beli Turun/ balikonten

JAKARTA, BALIKONTEN.COM – Presiden Amerika Serikat Donald Trump meyakini bahwa kebijakan tarif impornya akan memicu kebangkitan industri manufaktur di dalam negeri. Namun, para ahli menilai jalan menuju “reshoring”—pemulangan industri ke AS—tidaklah semudah itu.

Dalam konferensi pers terbarunya, Trump mengumumkan tarif impor besar-besaran, termasuk tarif dasar sebesar 10% untuk semua produk impor. Beberapa negara dikenai tarif lebih tinggi, seperti 34% untuk produk dari Tiongkok, 20% dari Uni Eropa, dan 32% dari Taiwan.

“Pabrik dan lapangan kerja akan kembali menggeliat,” ujar Trump. “Kita akan memperkuat industri dalam negeri, membuka pasar internasional, dan pada akhirnya produksi dalam negeri akan memperkuat daya saing dan menurunkan harga untuk konsumen.”

Namun menurut Harry Moser, Presiden dari organisasi nirlaba Reshoring Initiative, realitasnya tak sesederhana itu. Selama beberapa dekade terakhir, AS kehilangan sekitar 6 juta lapangan kerja karena banyak perusahaan memindahkan operasional ke luar negeri untuk menekan biaya produksi.

Moser menganggap tarif ini sebagai langkah awal yang baik, tetapi menekankan bahwa penguatan nilai tukar dolar dan peningkatan kualitas tenaga kerja merupakan kunci utama.

Ia juga menyarankan agar tarif yang dikenakan tidak terlalu tinggi. “Tarif yang lebih kecil akan lebih mudah dipertahankan, tapi tetap cukup kuat untuk mendorong reshoring dan investasi asing langsung,” ujarnya.

Moser percaya bahwa langkah awal Trump ini akan membuka jalan negosiasi dengan negara lain. “Selama negara-negara lain percaya Trump serius dan akan terus menekan hingga masalah terselesaikan, mereka mungkin bersedia menaikkan nilai tukar, menurunkan tarif terhadap produk AS, atau bahkan mendorong perusahaan mereka untuk membangun pabrik di Amerika,” katanya.

Dunia Usaha Masih Hati-hati

Namun banyak tantangan yang harus dihadapi untuk memulangkan industri kembali ke AS, salah satunya ketidakpastian soal kebijakan tarif itu sendiri.

“Dengan ketidakpastian arah kebijakan dan waktu pembangunan industri yang panjang, kami perkirakan banyak perusahaan akan melangkah dengan hati-hati,” kata Edward Mills, analis kebijakan Washington dari Raymond James.

Panos Kouvelis, profesor rantai pasok dari Washington University, mengingatkan bahwa investasi semacam ini butuh perhitungan matang. Ia menyebut penelitian terhadap tarif Trump pada 2018 tidak berdampak besar terhadap pemulangan industri atau kembalinya lapangan kerja.

“Produsen justru terbebani kenaikan harga bahan baku, permintaan turun, dan kapasitas menurun di beberapa sektor,” ujarnya.

Kebijakan tarif terbaru ini juga dinilai “tidak stabil dan berubah-ubah” karena dikeluarkan lewat perintah eksekutif, bukan melalui Kongres. Hal ini membuat perusahaan kesulitan menyusun ulang rantai pasok global mereka.

“Krisis kepercayaan menjadi penghambat terbesar. Tanpa kejelasan kebijakan jangka panjang, investasi yang sudah diumumkan akan tertunda,” kata Manish Kabra, Kepala Strategi Ekuitas AS dari Societe Generale. Indeks kepercayaan konsumen AS bahkan sempat menyentuh titik terendah dalam 12 tahun terakhir pada Maret.

Reshoring Terburu-buru Bisa Jadi Bumerang

Christopher Tang, profesor dari UCLA, menilai AS belum siap untuk reshoring secara besar-besaran. Ia menyebut minimnya infrastruktur dan tenaga kerja sebagai penghalang utama.

“Kalau dipaksakan, bisa berbahaya. Belum tentu orang Amerika mau kembali kerja di pabrik,” ujarnya.

Ia menyebut sejumlah perusahaan mungkin memang akan kembali ke AS, tetapi tekanan pada CEO untuk memberikan hasil cepat dan kompleksitas peraturan di AS membuat mereka berpikir dua kali.

“Biaya tinggi, regulasi rumit—insentif untuk kembali masih kurang kuat,” tambah Tang.

Hal senada disampaikan Moser. Menurutnya, program tarif Trump akan gagal jika tidak dibarengi dengan pelatihan besar-besaran untuk tenaga kerja terampil dan insinyur manufaktur.

“Kita harus ubah paradigma dari ‘kuliah untuk semua’ menjadi ‘karier hebat untuk semua,’” tegasnya.

Sementara itu, analis Morgan Stanley, Chris Snyder, mengatakan bahwa AS kini berada dalam posisi terbaik dalam 50 tahun terakhir untuk menarik pembangunan pabrik baru. Ia menyebut reshoring akan lebih mungkin terjadi pada proyek-proyek ekspansi baru, bukan pemindahan total dari luar negeri.

Sektor Apa Saja yang Berpotensi Balik ke AS?

Sejak pemilu terakhir, investasi yang diumumkan oleh perusahaan-perusahaan mencapai $1,4 triliun dan diperkirakan akan menciptakan sekitar 200.000 lapangan kerja baru, menurut data dari Societe Generale.

Hyundai memimpin dengan investasi senilai $21 miliar di fasilitas AS, termasuk pembangunan pabrik senilai $5,8 miliar di Louisiana.

Industri otomotif diperkirakan akan menjadi sektor utama yang akan melakukan reshoring, terutama karena tarif 25% yang dikenakan pada mobil impor. Namun, produsen mobil berbahan bakar bensin dinilai kesulitan karena rantai pasok mereka sudah sangat ramping dan sulit diubah.

Berbeda halnya dengan mobil listrik (EV) yang lebih sederhana dari sisi komponen—dengan baterai sebagai bagian paling vital—sehingga lebih mudah untuk diproduksi di dalam negeri.

Selain otomotif, sektor seperti peralatan industri dan semikonduktor juga dinilai memiliki potensi besar untuk kembali ke AS. Meski saat ini produk semikonduktor dan farmasi belum dikenai tarif, para ahli memprediksi keduanya akan terdampak di masa mendatang.

Undang-undang CHIPS Act tahun 2022 yang memberikan insentif dan keringanan pajak bagi produsen semikonduktor juga mendorong sektor ini untuk bangun dan berkembang di dalam negeri.

Untuk sektor farmasi, Kouvelis memperkirakan bahwa yang akan kembali hanyalah sebagian dari rantai pasok, terutama tahap formulasi dan pengemasan. Sementara bahan kimia dan bahan aktif kemungkinan masih diimpor, khususnya dari Tiongkok.

“Kalau ingin seluruh rantai pasok balik, maka tarif harus diterapkan secara agresif ke seluruh lini produksi,” tutupnya.

***

 

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE

Shares: