DENPASAR, BALIKONTEN.COM – Setiap enam bulan sekali, umat Hindu di Bali merayakan Anggarakasih Tambir, sebuah hari suci yang dikenal juga sebagai Anggar Kasih Tambir. Perayaan ini bertepatan dengan Kajeng Kliwon, menjadikannya momen istimewa yang sarat makna spiritual. Kedua hari suci ini mengajak umat untuk merenung, menyucikan diri, dan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi.
Makna Anggara Kasih Tambir
Anggara Kasih Tambir adalah perpaduan tiga elemen penting dalam kalender Hindu Bali: Anggara (Selasa) dari Sapta Wara, Kliwon dari Panca Wara, dan Tambir dari Wuku. Perpaduan ini melahirkan hari yang disebut Anggara Kasih, sebuah waktu untuk memupuk cinta kasih terhadap diri sendiri melalui pembersihan batin dan jasmani.
Umat Hindu percaya bahwa pada hari ini, Sang Hyang Ludra melakukan yoga untuk menghilangkan segala bentuk kecemaran di dunia. Untuk itu, umat dianjurkan melakukan perenungan suci, menghaturkan persembahan seperti banten, serta melaksanakan persembahyangan di tempat suci seperti merajan atau pura. Persembahan ini menjadi simbol penyucian diri dari pengaruh negatif, baik dari pikiran, perkataan, maupun perbuatan.
Kajeng Kliwon: Hari Suci yang Sakral
Selain Anggara Kasih Tambir, Kajeng Kliwon juga menjadi hari suci yang diperingati setiap 15 hari sekali. Hari ini merupakan pertemuan antara Kajeng dari Tri Wara dan Kliwon dari Panca Wara. Kajeng Kliwon dianggap sebagai momen sakral yang penuh makna, di mana Sang Hyang Siwa melaksanakan yoga samadi demi keselamatan dunia.
Dalam kepercayaan Hindu Bali, Kajeng Kliwon adalah waktu ketika Sang Hyang Durga Dewi, yang mewakili kekuatan Bhuta Kala, serta Sang Hyang Siwa, simbol kekuatan Dharma, memiliki pengaruh besar. Namun, hari ini juga dianggap memiliki energi negatif yang lebih kuat, sehingga umat dianjurkan untuk lebih berhati-hati dan melakukan penyucian diri. Beberapa umat percaya bahwa pada hari ini, Sang Tiga Bhucari memohon restu kepada Sang Hyang Durga untuk menyebabkan gangguan seperti desti atau teluh. Oleh karena itu, persembahan seperti canang sari, canang wangi, dan segehan dihaturkan untuk menjaga keseimbangan alam.
Tradisi Persembahan dalam Anggara Kasih Tambir dan Kajeng Kliwon
Persembahan atau yadnya menjadi inti dari perayaan kedua hari suci ini. Umat Hindu menghaturkan berbagai jenis banten seperti canang sari, canang raka, segehan kepelan, segehan putih kuning, hingga segehan panca warna. Persembahan ini biasanya diletakkan di merajan, pura, halaman rumah, atau tempat strategis seperti pintu masuk, pertigaan, dan perempatan jalan.
Segehan, yang berasal dari kata sega (nasi dalam bahasa Jawa), merupakan persembahan sederhana yang didominasi nasi, lengkap dengan lauk pauk seperti bawang merah, jahe, dan garam. Segehan juga dilengkapi dengan tetabuhan berupa air, tuak, arak, atau brem, serta api takep (sabut kelapa yang disusun menyilang). Persembahan ini memiliki makna mendalam, yakni untuk menetralkan energi negatif dari Bhuta Kala dan menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Jenis-Jenis Segehan dan Maknanya
-
Segehan Kepel Putih
Segehan ini merupakan bentuk paling sederhana yang biasanya dihaturkan setiap hari. Persembahan ini diletakkan di bawah pelinggih atau tempat suci lainnya, sebagai wujud kesederhanaan dalam menjaga hubungan dengan ilahi. -
Segehan Putih Kuning
Mirip dengan segehan kepel putih, namun salah satu nasi diganti dengan nasi kuning. Segehan ini sering dihaturkan di bawah pelinggih dengan doa:
Om Sarwa Bhuta Preta Byo Namah, yang berarti memohon izin kepada Hyang Widhi untuk menghaturkan sajian kepada Bhuta Preta. -
Segehan Panca Warna
Segehan ini terdiri dari lima warna nasi: putih (timur), merah (selatan), kuning (barat), hitam (utara), dan campuran keempat warna (brumbun) di tengah. Persembahan ini diletakkan di tempat-tempat strategis seperti natar merajan, pintu keluar masuk, atau pertigaan jalan, dengan doa:
Om Sarwa Durga Preta Byo Namah, yang memohon izin untuk menyuguhkan sajian kepada Durga Preta.
Filosofi Unsur Segehan
Setiap elemen dalam segehan memiliki makna filosofis yang mendalam:
-
Alas daun pisang (taledan): Melambangkan empat arah mata angin, simbol keseimbangan alam.
-
Nasi putih dua kepal: Menggambarkan prinsip Rwa Bhineda, keseimbangan dualitas dalam kehidupan.
-
Jahe: Menandakan semangat yang diperlukan manusia, namun harus diimbangi dengan pengendalian emosi.
-
Bawang: Melambangkan kepala dingin dalam bertindak, tanpa mengabaikan kepekaan terhadap isu sosial.
-
Garam: Bersifat netral, efektif untuk menetralkan energi negatif.
-
Tetabuhan (arak, tuak, brem): Berfungsi sebagai pembersih, menghilangkan kuman atau energi buruk, sebagaimana alkohol digunakan dalam dunia medis untuk sterilisasi.
Ketika menghaturkan segehan, tetabuhan dituangkan mengelilingi persembahan sambil mengucapkan doa:
Om ebek Segar, ebek Danu, ebek Bayu, Premananing Hulun, yang berarti memohon berkah kesegaran jiwa dan batin bagaikan limpahan air laut dan danau.
Harmoni Manusia dan Alam
Menurut lontar seperti Yajna Prakrti, Kala Tattva, dan Bhamakertih, banten dan segehan bukan sekadar persembahan fisik, melainkan simbol hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Persembahan ini dihaturkan untuk menetralkan limbah pikiran, perkataan, dan perbuatan yang dapat mengganggu keseimbangan alam niskala. Dengan demikian, Anggara Kasih Tambir dan Kajeng Kli