Padat Karya

Investasi dan Keberlanjutan: Menghadapi Dinamika Pembangunan di Kuta Selatan
Mengupas Dinamika Pembangunan di Kuta Selatan: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Hijau

Mengupas Dinamika Pembangunan di Kuta Selatan Peluang

 

 

JIMBARAN, BALIKONTEN.COM – Kawasan Kuta Selatan, meliputi Jimbaran, Benoa, Nusa Dua, Uluwatu, dan Pecatu, telah menjelma menjadi pusat perhatian dalam pengembangan ekonomi Bali. Dengan kombinasi daya tarik alam, budaya, dan infrastruktur modern, kawasan ini menjadi destinasi utama bagi wisatawan dan investor. Namun, di balik pertumbuhan pesat ini, muncul tantangan dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan, kelestarian budaya, dan pelestarian lingkungan.

Kuta Selatan terus menarik minat para investor berkat potensi investasi yang menguntungkan. Berdasarkan laporan dari Knight Frank Indonesia (2024), tingkat pengembalian investasi (ROI) properti di kawasan ini berada pada kisaran 8–12% per tahun, menjadikannya salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.

Vila-vila eksklusif di Pecatu dan Uluwatu, yang menawarkan pemandangan laut lepas, menjadi pilihan utama pasar internasional. Proyek seperti Jimbaran Hijau, dengan konsep green township, menjadi bukti bahwa pembangunan modern dapat berjalan beriringan dengan pelestarian budaya dan lingkungan.

BACA JUGA:  Satpol PP Kota Denpasar Intensifkan Penertiban Prokes

Sebagai pusat MICE (Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions), Nusa Dua menyumbang secara signifikan terhadap perekonomian lokal. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali 2024, sektor MICE di Nusa Dua menyumbang lebih dari 35% pendapatan industri pariwisata di Bali Selatan pada kuartal pertama tahun 2024.

Di sisi lain, Pelabuhan Benoa melaporkan peningkatan aktivitas logistik sebesar 18% dibandingkan tahun sebelumnya, mencerminkan peran strategis kawasan ini dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.

Namun, tantangan besar juga mengiringi perkembangan ini. Menurut laporan World Bank Indonesia 2024, peningkatan jumlah wisatawan yang mencapai hampir 6,5 juta kunjungan ke Bali Selatan pada tahun 2024 memberikan tekanan besar pada lingkungan.

BACA JUGA:  Bank BPD Bali Kembali Gelontor Puluhan Juta untuk Bakti Sosial Ngrombo

Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah sampah hingga 35% lebih tinggi dibandingkan lima tahun sebelumnya, serta ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem pantai di beberapa wilayah. Urbanisasi yang masif juga menjadi ancaman terhadap identitas budaya lokal. Penelitian oleh Udayana University (2024) mencatat bahwa lebih dari 45% generasi muda di kawasan Kuta Selatan merasa terputus dari akar budaya mereka akibat modernisasi yang berlangsung cepat.

Pembangunan hijau menjadi solusi penting untuk menjawab tantangan ini. Sebuah studi terbaru dari Indonesia Green Building Council (2024) menunjukkan bahwa penerapan teknologi ramah lingkungan, seperti sistem pengelolaan air yang efisien dan penggunaan energi terbarukan di beberapa resort Uluwatu, telah mengurangi konsumsi energi hingga 22% dan konsumsi air hingga 18%. Selain itu, program rehabilitasi terumbu karang yang dikelola oleh Bali Reef Conservation (2024) berhasil memulihkan 50 hektar area terumbu karang yang rusak di Teluk Benoa.

BACA JUGA:  Aparat Bersihkan Pantai Tegal Besar, Juga Sosialisasikan Prokes

Dengan peluang investasi yang terus berkembang, Kuta Selatan berada di titik krusial untuk menentukan masa depannya. Pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tanpa mengorbankan esensi Bali sebagai pulau yang kaya akan budaya dan alam.

Kuta Selatan adalah cerminan Bali masa kini—kawasan yang menyimpan peluang besar sekaligus tanggung jawab besar. Dengan komitmen terhadap pembangunan hijau, kawasan ini dapat mempertahankan statusnya sebagai destinasi impian bagi wisatawan dan investor, sekaligus menjadi teladan global dalam pengelolaan pembangunan yang bertanggung jawab. ***

 

IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS UNTUK INFORMASI LEBIH UPDATE

Shares: